Ketegangan dalam hubungan perdagangan Jepang-Republik Korea
(VOVWORLD) - Dua negara kawasan Asia Timur Laut yaitu Jepang dan Republik Korea sedang berada dalam pusaran ketegangan dagang setelah Tokyo dengan tiba-tiba memperketat ketentuan ekspor ke Republik Korea terhadap tiga jenis bahan teknologi tinggi yang digunakan dalam produksi Chip elektronik dan layar smartphone.
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe (kiri) dan Presiden Republik Korea, Moon Jae-in. (Foto: Getty/CNBC.) |
Keputusan yang berlaku dari 4 Juli ini dianggap akan menimbulkan pengaruh terhadap “Sang raksasa” teknologi Republik Korea seperti Samsung Electronics, SK Hynix dan LG Displey. Dan sekarang Jepang tidak berniat menarik kembali pemberantasan-permberantasan tersebut. Kalangan otoritas Republik Korea menentang keputusan Jepang karena mengganggap bahwa hal ini bertentangan dengan upaya-upaya global untuk mencapai satu lingkungan perdagangan bebas, setara dan bisa diprakirakan sesuai dengan usulan di Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Kota Osaka, Jepang pada akhir bulan Juni lalu. Namun Tokyo mengingkari pengenaan embargo perdagangan terhadap Republik Korea dan menganggap bahwa gerak-gerik ini semata-semata adalah pengubahan prosedur, setelah pernah menerapkan peraturan-peraturan penyederhanaan terhadap Republik Korea. Dan hal ini sama sekali sesuai dengan kewajiban Jepang di Organisasi Perdagangan Sedunia (WTO).
Kontradiksi antara dua negara tersebut pada hakekatnya hidup secara diam-diam selama bertahun-tahun ini yang bersangkutan dengan masalah tenaga kerja Republik Korea yang terpaksa bekerja di perusahaan-perusahaan Jepang ketika negara ini mengontrol semenanjung Korea untuk tahap 1910-1945 . Eskalasi ketegangan terjadi pada tahun 2018 lalu ketika Mahkamah Agung Republik Korea mengeluarkan vonis memaksa perusahaan-perusahaan Jepang supaya memberikan santunan kepada para korban yang dipaksa. Tokyo mengecam keras vonis ini dan mengatakan bahwa semua masalah telah diatur sesuai dengan permufakatan normalisasi hubungan pada tahun 1965.
Kalangan pengamat menilai bahwa ketegangan kali ini bisa memakan waktu berbulan-bulan karena baik Perdana Menteri Shinzo Abe maupun Presiden Moon Jae-in akan tidak mau mengalah untuk dianggap sebagai punya “posisi lemah” sejak waktu menjelang pemilihan-pemilihan penting yang akan datang di dua negara. Dalam situasi seperti itu, tidak hanya ada hubungan diplomatik dan perundingan bilateral yang terkena akibat, melainkan juga membuat rantai suplai global juga terkena dampak.