(VOVworld) - “Walau pergi ke semua penjuru dunia/Tapi hati-ku tetap rindu kepada kota Hanoi. Wahei, Hanoi kita, Ibukota yang tercinta/ Di masa perang- di masa damai”. Kata-kata dalam lagu “Rindu kepada kota Hanoi”, ciptaan Komponis Hoang Hiep yang antara lain memanifestasikan perasaan dari para pecinta Ibukota Hanoi. Baik warga Hanoi : “asli”, maupun para pendatang dari seluruh negeri atau orang- orang yang tinggal jauh dari kampung halaman, semuanya mempunyai kesan- kesan terhadap Ibukota yang mempunyai kebudayaan selama ribuan tahun ini. Marilah saudara-saudara bersama-sama dengan Nguyen Yen dan Huong Tra mengelilingi Ibukota Hanoi untuk berbincang-bincang dengan para warga yang sedang yang hadir di sini sehubungan dengan peringatan ultah ke-61 Pembebasan Ibukota Hanoi (10/10/1954- 10/10/2016).
- Menurut perancangan baru pada tahun 2015 ini, kota Hanoi sekarang ini mempunyai 29 kabupaten kota dan kecamatan. Kabupaten kota Tay Ho dulu merupakan daerah di peluaran kota Hanoi, sekarang ini menjadi satu kabupaten kota besar. Tinggal di kota Hanoi selama 70 tahun ini, Ibu Nguyen Thi Tam menyaksikan banyak perubahan yang terjadi di bumi ini. Ibu Nguyen Thi Tam menceritakan:“Saya masih ingat, pada tahun- tahun 1962-1963, sekolah membawa kami ke Taman Bunga Thống Nhất . Kami berjalan kaki ke bendungan Yen Phu dan kemudian naik kereta listrik. Pada masa itu, jumlah penduduk kota tidak banyak, jalan-jalan meski kecil, tapi lalu lintas tidak berjubal-jubal dan aman. Kota Hanoi masa kini berbudaya dan modern, jalan-jalan diperlebar, perumahan banyak dibangun, kehidupan menjadi berdesak-desakan. Danau Tay (atau danau Barat), dulu hanya merupakan satu kolam bunga teratai yang luas, banyak rumputan, taki sekarang ini telah dirancang menjadi danau yang bersih dan indah. Ketika musim bunga teratai tiba, bangun pagi-pagi, dapat menghirup cuaca segar dari harumnya bunga teratai menjadi cindramata spiritual yang tidak bisa ada di tempat lain”.
Juga adalah seorang warga “asli” kota Hanoi, keluarga bapak Ta Dinh Hoan telah tinggal di jalan Ham Tu Quan, kabupaten kota Hoan Kiem selama tiga generasi ini. Meksipun mempunyai syarat pindah ke perumahan lain yang lebih luas, tapi kebiasaan hidup di sektor pusat dari Ibukota Hanoi telah membuat dia merasa sangat berat meninggalkan tempat lama, sehingga tidak mau meninggalkan tempat ini. Dia memberitahukan:“Pada waktu bekerja di Instansi Transportasi dan Perhubungan, saya berkesempatan bekerja di banyak tempat, misal-nya kota Sai Gon (yang sekarang ini adalah kota Ho Chi Minh); kota Nha Trang (Vietnam Tengah) dan lain- lain….tapi saya melihat bahwa tidak ada daerah lain yang sama dengan Ibukota Hanoi. Di kota Hanoi ada keluarga, teman dan masyarakat yang berkaitan dengan saya. Semua-nya terukir secara mendalam dalam hati saya. Misal-nya, pada hari senja, kalau tidak pergi ke danau Guom untuk bersenam atau berangin-angin, saya merasa tidak tenang”.
Profesor Muda, Doktor Hoang Anh Tuan yang sekarang ini adalah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Sosialis Vietnam di Indonesia. Setiap kali pulang ke kota Hanoi, beliau merasakan kasih sayang dan santai. Duta Besar Hoang Anh Tuan memberitahukan: “Saya masih ingat pada saat menerima tugas sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Sosialis Vietnam di Indonesia, hampir setahun setelah itu saya baru pulang ke kota Hanoi. Gembira sekali ketika bisa bertemu kembali dengan sanak keluarga, berkumpul dengan teman, bertemu dengan ibu guru ketika di SMA dan bertemu juga dengan tetangga. Sudah berkali-kali pergi jauh dari rumah, tapi setiap kali pulang saya merasa sangat terharu seperti kali pertama bekerja jauh dari rumah. Sebagai seorang diplomat, saya selalu menyosialisasikan kebudayaan dan Vietnam pada umumnya dan kota Hanoi pada khususnya kepada sahabat internasional. Sahabat Indonesia sangat menyukai masakan Nem (atau lumpia) dan Pho dari kota Hanoi”.
Tidak hanya sebagai Pusat Pariwisata Ibukota, danau Guom (atau danau Pedang) juga menyerap banyak turis dengan layanan- layanan rekreasi yang khas. Diantaranya ada layanan melukis gambar pribadi yang bisa diambil segera setelah itu. Para turis masing-masing harus bayar hanya kira-kira 70.000-80.000 dong Vietnam (sama kira-kira 30.000 Rupiah) saja untuk satu lukisan gambar pensil. Pelukis muda Hai Dang juga menemukan sudut di danau Guom untuk mencari nafkah dan memuaskan daya kreasi seni. Dia berasal dari daerah pedesaan yang miskin Bac Giang, Hai Dang telah kira-kira 7 tahun ini tinggal di kota Hanoi. Dia mengatakan: “Hanoi merupakan tempat untuk berkembang, kebutuhan akan kesenian lebih tinggi, oleh karena itu, saya memilih Ibukota Hanoi untuk tinggal dan berkaitan dengan-nya. Kota Hanoi membolehkan saya mengembangkan kemampuan seni rupa dan membantu saya memenuhi kebutuhan ekonomi. Mudah mencari duit terbanding dengan di kampung saya. Kota Ho Chi Minh atau kota Da Nang juga merupakan kota-kota yang membantu saya bisa mencari nafkah secara baik, tapi saya masih memilih Ibukota Hanoi untuk memulai usaha karena jarak geografis juga lebih dekat dengan kampungku. Saya menganggap kota Hanoi sebagai kampung saya yang kedua”.
Bagi para warga di daerah peluaran kota yang mencari nafkah hidup di kota Hanoi, pekerjaan membeli dan menjual barang rombengan menjadi pilihan banyak orang, karena menurut mereka, ini merupakan pekerjaan yang bisa dilakukan pada waktu purna panen. Saudari Nguyen Thi Them, dari propinsi Ha Nam yang telah kira-kira 10 tahun ini bekerja di kota Hanoi memberitahukan: “Saya setiap hari naik sepeda berkeliling ke jalan-jalan di kota Hanoi untuk membeli barang rombengan. Pekerjaan susah, tapi ia membantu saya mencari uang lebih banyak terbanding dengan bersawah. Saya setiap bulan bisa mengirim kepada keluarga kira-kira 3-4 juta dong Vietnam untuk menghidupi dua anak. Kadang-kadang kembali ke kampung halaman, saya masih rindu akan kesan yaitu sedang naik sepeda kelilingi kota Hanoi dan menawarkan: “Jual-lah barang rombengan”.
Kalangan pemuda mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang Ibu kota Hanoi. Dalam hati-nya, kota Hanoi sebagai satu perkotaan yang ramai dengan pusat- pusat rekreasi dan berbelanja yang modern. Hampir semua pemuda yang datang di kota Hanoi, semuanya ingin punya posisi di kota ini, seperti halnya yang dikatakan My Hanh, seorang mahasiswi Institut Ilmu Sosial dan Humaniora dan Thanh Mai, seorang mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum: “Di kota Hanoi ada banyak kesempatan, sebagai batu loncatan untuk meneggakkan usaha. Saya mencintai Ibukota Hanoi, karena ada banyak tempat rekreasi, banyak masakan dan kualitasnya lebih baik. Khususnya, saya lebih bebas dan independen serta bisa memanifestasikan karakter sendiri”.
-“Di kota Hanoi ada masakan-masakan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, misal-nya: Mihun tahu, lumpia goreng, teh lemon dan lain- lain…Kota Hanoi ramai, dinamis dan lebih bergelora. Kampung saya di daerah pegunungan, tidak ada banyak kesempatan seperti di kota Hanoi. Saya berencana akan kembali ke kota Hanoi untuk menegakkan usaha”.
Bagi Phuong Thao, seorang pelajar kelas 7 SMP Dong Da, kota Hanoi, Musim dingin di ibukota Hanoi adalah musim yang paling indah.“Bagi saya, kota Hanoi paling indah pada musim dingin diantara 4 musim. Saya menyukai kekelasikan pada musim dingin di kota Hanoi, saya mau berbaring dalam selimut ketika musim dingin tiba. Dan lebih dari pada itu juga, ketika musim dingin lewat, musim semi akan tiba. Pada saat itu, saya bisa mengucapkan selamat Hari Raya Tet, dapat menerima angpao dan pergi ke pagoda untuk mengucapkan selamat tentang segwla hal yang baik diri sendiri dan teman-teman”.
Tidak hanya orang-orang yang pernah berkaitan erat dengan kota Hanoi sejak masa kecil saja, melainkan juga orang-orang yang dalam waktu lama tinggal di luar negeri seperti bapak Nguyen Thanh Tung, seorang diaspora Vietnam di Jerman juga memilih Ibukota Hanoi sebagai tempat kembali ke pangkalan pada masa lansia. Dia memberitahukan: “Saya ingin pulang kembali ke kampung halaman dari pendahulu saya karena mempunyai perasaan yang kental dengan keluarga. Ketika saya berusia 30 tahun, saya juga tidak mempunyai keinginan tinggal di luar negeri, karena adat-istiadat cukup berbeda, maka cepat atau lambat, saya juga memutuskan kembali ke kampung halaman. Kesan tentang kota Hanoi bisa hanya berwujud satu es krim yang dibeli di jalan Trang Tien atau suara menawarkan tofu pada siang hari di musim panas, pada musim dingin bisa mencicipi mangkok mihun keong yang hangat dan lain- lain….kota Hanoi dalam hati saya sangat sederhana dan sulit dilupakan”.
Dalam waktu kira-kira 10 tahun belajar dan bekerja di Perancis, pemuda Bui Tran Thanh telah mempunyai satu pekerjaan yang stabil dengan tarap gaji sebanyak 4.000 dolar Amerika Serikat per bulan di satu bank yang berprestise. Masa depan-nya terbuka lebar, tapi Bui Tran Thanh tetap memutuskan kembali ke kota Hanoi untuk meneggakkan usaha karena nostalgia yang tidak bisa disebut dengan nama. Dia memberitahukan:“Masa kanak-kanak saya berkaitan dengan kota Hanoi. Ketika tinggal dan bekerja jauh dari kampung halaman, baru bisa melihat bahwa kehidupan di kota Hanoi cukup tenang dan pelan- pelan. Saya masih ingat, pada pukul 6 setiap pagi, seluruh jalan Bat Su di tempat tinggal keluarga saya kedengaran suara dari pengeras suara milik kecamatan, membangunkan semua orang. Pada hari akhir pekan, saya selalu minum cangkir kopi, membaca koran, memandangi jalan-jalan atau bersama- sama dengan Ibu saya berjalan kaki di sekitar danau Guom, membawa teman perempuan dengan sepeda di sepanjang jalan Nguyen Du untuk menghirup harumnya bunga susu setiap musim rontok tiba. Semua-nya itu tidak bisa ditemukan di Barat. Di Perancis, semua-nya serba buru-buru, tertib, malam tiba, semua pintu rumah tertutup. Di Hanoi berbeda ketika ada satu kehidupan pada malam yang amat aman. Pernah, saya mau makan satu mangkok Pho hangat yang dijual di jalan Hang Chieu, makan satu mangkok kolak sejuk yang dimasak Ibu atau keliling berjalan untuk menikmati makanan yang tidak bisa ditemukan di Barat dalam waktu beberapa tahun. Hal-hal ini juga mendesak saya untuk kembali ke kampung halaman”.
Jadi, setiap orang mempunyai satu alasan yang berbeda-beda untuk tinggal di daerah bumi yang mempunyai kebudayaan selama ribuan tahun. Tapi semua mereka mempunyai satu kesamaan yalah kecintaan mesra terhadap Ibukota Hanoi, kecintaan yang berasal dari hal-hal yang sangat sederhana.