(VOVworld) – Lebih dari setengah tahun telah lewat, sejak Washington mengadakan upacara penurunan bendera pada 15 Desember tahun lalu yang menandai berakhirnya misi selama 9 tahun di Irak, sampai sekarang, keamanan di negara ini masih tetap merupakan satu tanda tanya besar. Kecemasan dari komunitas internasional tentang perebutan kekuasaan di Irak ketika pasukan Amerika Serikat menarik diri dari Irak atau pertanyaan tentang bangkitnya kembali anasir teroris timbul lagi ketika opini umum menyaksikan semua keadaan yang baru saja terjadi di negara Timur Dekat Tengah ini.
Serangan bom di peluaran ibu kota Bagdad.
( Foto: diendan.vietgiaitri.com)
Pada 23 Juli ini, seluruh wilayah Irak telah terguncang hebat oleh serangan-serangan bom beruntun, merampas jiwa dari 91 orang dan mencederai 161 orang yang lain, menjadi hari yang paling berlumuran darah di Irak selama lebih dari dua tahun ini sejak Mei 2012. Kekerasan yang paling berlumuran darah telah terjadi di kota madya Taji, kira-kira 25 Kilometer dari ibu kota Baghdad di sebelah Utara yang terdiri dari satu serangan bunuh diri dan beberapa serangan bom di tepian jalan sehingga menewaskan 18 orang dan mencederai 29 orang yang lain. Sedangkan di kota madya Dhuluiyah, propinsi Salahudin, kira-kira 80 Kilometer dari ibu kota Bagdad di sebelah Utara, kaum pembangkang yang belum dikenal identitasnya dan diperlengkapi dengan senjata berat telah menyerang satu pangkalan militer di sini, menewaskan 15 serdadu dan dua anggota kelompok Sahwa yang dekat dengan pemerintah. Satu kelompok yang lain juga menyerang satu pos pengawasan pimpinan kelompok yang dekat dengan pemerintah Sahawa di peluaran kota Samarra, kira-kira 110 Kilometer di sebelah Utara, sehingga menewaskan dua serdadu dan mencederai 3 orang yang lain. Sementara itu, serangkaian serangan bom dan tembakan meriam di ibu kota Bagadad dan banyak daerah di Irak Utara, misalnya Saadiyah, Khan Beni Saadm Kirkuk, Tuz Khurmatu dan Dibis, sehingga menewaskan 45 orang dan sedikit-dikitnya melukai 72 orang yang lain. Belum ada organisasi yang menerima tanggung jawab atas semua serangan ini, akan tetapi sebelumnya, kelompok selubung dari jaringan teroris Al Qaeda di Irak telah memperingatkan sedang mencarti cara mendudkui kembali wilayah negara ini.
Sanak keluarga para korban -akibat serangan bom di kota Bagadad.
( Foto: diendan.vietgiaitri.com)
Pada kenyataan, ini bukan untuk pertama kalinya di negara ini terjadi serangan bom dan bentrokan. Pada saat pasukan Amerika Serikat masih ada, semua serangan teror telah terjadi, akan tetapi segera setelah serdadu Amerika Serikat yang terakhir menarik diri dari negara ini, serangan-serangan terjadi dengan taraf dan intensitas yang semakin keras. Kongkritnya yalah pada 22 Juli ini, di kota madya Mahmudya, kira-kira 30 kilometer dari ibu kota Baghdad sebelah selatan, telah terjadi 3 serangan bom mobil yang bertubi-tubi, sehingga menewaskan 11 orang dan mencederai 38 orang yang lain. Atau pada bulan Juni lalu, menurut statistik, semua serangan bom telah menewaskan sedikit-dikitnya 237 orang dan memulai 603 orang yang lain, sehingga membuat bulan Juni lalu menjadi salah satu diantara bulan-bulan yang paling berlumuran darah di Irak sejak Amerika Serikat menarik pasukannya dari negara ini. Ketika membuat pernyataan di Website-nya, kelompok pembangkang dengan nama “ Negara Islam Irak” yang punya hubungan dengan jaringan teroris Al Qaeda mengaku telah melakukan 40 serangan yang berlumuran darah di Irak. Semua serangan bom, tembakan meriam yang menyasar pada peziarah Muslim sekte Syiah dan kekuatan keamanan Irak.
Serangan bom mobil.
( Foto: zing.vn)
Jelaslah, tanpa mempedulikan upaya Pemerintah dan pasukan keamanan Irak untuk menjaga ketertiban di negara Kawasan Teluk ini, kekerasan meningkat terus menerus, sehingga membuat opini umum mengeluakan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah Baghdad dalam menyelenggarakan Tanah Air. Tapi, bagi para pengamat yang memantau perkembangan-perkembangan di negara ini, mereka punya komentar yang lain. Itu adalah kontradiksi dan perpecahan internal yang membuat gelanggang politik negara ini sulit mengusahakan suara bersama dalam menyelenggarakan Tanah Air. Segera setelah tentara Amerika Serikat menarik diri, telah meninggalkan satu negeri Irak yang terpecah-belah yang memicu motif yang bersifat faksional ingin memecah-belah negara Timur Dekat Tengah ini dibagi menjadi tiga yaitu orang Kurdi di semua provinsi di daerah Utara yang punya banyak minyak, orang Kristiani di semua provini di daerah Tengah dan sisanya orang Muslim sekte Sunni yang juga punya banyak minyak di sebelah Selatan. Tidak lama ini, 4 provinsi di daerah Tengah yaitu Salah al-din, Diyala, Anba dan Nineveh telah berkaok-kaok membentuk negara merdeka dari orang Muslim sekte Sunni karena Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh orang-orang Muslim sekte Shyiah tidak memperhatikan kepentingan dan memberikan perlakuan terhadap mereka seperti para warga negara kelas dua.
237 orang tewas dan 603 orang yang lain cedera pada bulan Juni lalu di Irak.
(Foto: laodong.com.vn)
Pada 19 Juni lalu, Mahkamah Pidana Sentral Irak mengadakan kembali persidangan untuk memeriksa Wakil Presiden yang sedang melari diri Tariq al Hashimi, politikus papan atas dari kelompok Iraqiya sekte Sunni di Parlemen Irak dengan tuduhan-tuduhan pembunuhan orang. Diadakannya kembali sidang pengadilan yang penuh skandal ini telah mencerminkan kontradiksi sekarang ini dalam internal pemerintah Baghdad. Orang masih ingat, pada akhir tahun lalu, Dewan Hakim Tertinggi Irak telah mengeluarkan perintah untuk menangkap Tariq al Hashemi dan hal ini telah menimbulkan bermacam-macam reaksi dalam internal pemerintah negara Kawasan Teluk ini. Karena, sebelumnya, blok politik orang Sunni telah menyatakan akan memboikot Parlemen untuk menentang Perdana Menteri Nuri al Maliki telah lambat dalam mengatasi kemacetan-kemacetan politik ketika mengarah ke pembentukan satu pemerintah untuk berbagi kekuasaan antara komunitas-komunitas sekte Sunni, Shyiah dan Kurdi.
Kontradiksi tentang kekuasaan yang belum diatasi secara tuntas telah dan sedang merupakan bumi yang subur bagi semua anasir teroris untuk merembes dan menyalahgunakannya. Kasus yang baru saja berlangsung merupakan satu bukti kongkrit. Tentunya, dalam masa depan, rakyat Irak belum bisa berharap adanya ketenteraman yang sempurna ketika satu perang perebutan kekuasaan tetap sedang berada dalam tahap pasang naik dan belum ada tanda-tanda mereda dalam masa depan yang dekat./.