(VOVWORLD) - Sebelum batas waktu 4 hari, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, pada Selasa sore (8 Mei), telah mengeluarkan keputusan yang pantas disayangkan yaitu menarik diri dari permufakatan nuklir yang bersejarah dengan Iran dan memulihkan sanksi-sanksi terhadap negara Islam ini. Keputusan yang dikeluarkan oleh Pemimpin Gedung Putih meski dibela untuk menjamin kepentingan AS, tetapi memperdalam lagi kontradiksi antara AS dan Uni Eropa, mengurangi kewibawaan AS di gelanggang internasional. Yang lebih penting ialah keputusan ini mungkin membuat kawasan Tinur Tengah terperangkap ke dalam krisis.
Presiden AS, Donald Trump dalam pernyataan-nya di Gedung Putih pada 8 Mei menarik diri dari permufakatan nuklir Iran yang telah ditandatangani antara Kelompok P5+1 dengan Iran pada tahun 2015. (Foto: Xinhua/ Kantor Berita Vietnam) |
Dalam pidatonya pada Selasa sore (8 Mei), Presiden AS, Donald Trump mengulangi lagi penilaian bahwa permufakatan nuklir tahun 2015 yang telah ditandatangani oleh pemerintah pendahulu dengan Iran, Perancis, Inggeris, Jerman, Rusia dan Tiongkok merupakan “satu permufakatan buruk” dan “tidak menguntungkan bagi perdamaian”. Menurut Presiden Donald Trump, program ini telah tidak mencegat secara efektif Iran mengembangkan senjata nuklir dan mencegat Iran memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok teroris. Oleh karena itu, AS memutuskan menarik diri dari permufakatan dan memulihkan sanksi-sanksi terhadap Iran.
Bahaya krisis di Timur Tengah.
Sudah sejak kampanye pemilihan sampai menjadi pemimpin Gedung Putih, Donald Trump selalu menegaskan bahwa Rencana Aksi Menyeluruh Bersama (atau Joint Comprehensive Plan of Action-JCPOA) mengalami kesalahan di dalam, tidak bisa mencegat, malah hanya menunda kemampuan Iran memproduksi senjata nuklir. Oleh karena itu, opini umum tidak terlalu dikejutkan tentang keputusan Presiden Donald Trum tentang penarikan diri dari JCPOA, kalau ada pun hanyalah kesangsian dan kekhawatiran terhadap satu permufakatan yang telah dicapai setelah 12 tahun dirundingkan agar Iran setuju menghapuskan senjata nuklir.
Dalih bagi Donald Trump untuk membela tindakan membatalkan komitmen AS terhadap JCPOA ialah menuding Iran terus membangun satu program nuklir, pada saat tidak bisa mengeluarkan bukti. Tidak hanya berhenti di sana, Presiden AS juga memberitahukan akan mulai menggelarkan secara maksimal sanksi-sanksi ekonomi terhadap Iran, kongkritnya ialah bidang-bidang seperti keuangan, otomotif dan energi. Sanksi-sanksi baru yang dikenakan oleh AS terhadap Iran bisa menghalangi ekspor minyak Iran pada saat negara ini adalah anggota yang besarnya nomor 3 dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mensuplai 4% volume minyak per hari kepada dunia.
Orang melihat bahwa dalalm keputusan AS ini tampak kepentingan dari beberapa sekutunya di Timur Tengah. Negara-negara yang berkonfrontasi terhadap Iran di kawasan seperti Arab Saudi atau Israel yang menyatakan kepuasan terhadap sanksi yang dikenakan kembali oleh AS terhadap Iran. Israel memberitahukan sama sekali mendukung keputusan Donald Trump dan berterima kasih kepada Presiden Donald Trump tentang kepemimpinan-nya yang gagah berani.
Namun, secara umum, keputusan Donald Trump dianggap akan memojokkan Timur Tengah ke dalam krisis baru, meningkatkan ketegangan di kawasan yang sedang tenggelam dalam serentetan konfrontasi baru, di antaranya ada bentrokan di Suriah dan konfrontasi-konfrontasi yang diam-diam antara Iran dengan Israel dan negara-negara Arab. Akibat terbesar yang di luar dugaan dari keputusan ini ialah satu perang terhadap Iran. Terhadap satu perekonomian yang sedang tenggalam dalam kesulitan, Teheran mungkin akan mengaitkan permufakaan ini dengan harapan memberikan kepentingan yang cukup kepada Iran ketika bekerjasama dengan semua negara-negara. Tetapi kalau tidak bisa menjamin kepentingan-kepentingannya diri sendiri, Iran akan mengeluarkan keputusannya sendiri. Negara ini telah siap mengadakan kembali aktivitas-aktivitas nuklir di tarap industri dan bisa segera dioperasikan pada pekan depan ini juga.
Merugikan kewibawaan AS, memperdalam lagi kontradiksi dengan Uni Eropa.
Keputusan Presiden Donald Trump tentang penarikan diri dari JCPOA belum tahu akan memberikan kepentingan besar apa kepada AS, namun yang mendesak telah merugikan kewibawaa global AS. “Doktrin mundur” ini telah membuat orang sulit bisa percaya kepada semua komitmen internasional yang digagas oleh AS sendiri karena khawatir maka mudah bisa dijungkir-balikkan, terutama pada latar belakang akan segera berlangsung pertemuan puncak AS-Republik Demokrasi Rakyat Korea.
Bagi para sekutu Barat, panarikan diri AS dari JCPOA merupakan gerak-gerik AS mengisolasikan diri sendiri . Buktinya ialah tanpa memperdulikan penarikan diri AS, Uni Eropa menegaskan tetap mempertahankan permufakatan nuklir Iran-satu permufakatan yang dianggap oleh Uni Eropa sebagai faktor hidup mati untuk menjamin keamanan Eropa maupun keamanan dunia. Tidak hanya itu, keputusan sanksi-sanksi yang dikenakan Donald Trump terhadap Iran juga menyentuh kepentingan poros Uni Eropa yaitu musibah terhadap perusahaan-perusahaan Eropa yang telah berduyun-duyun melakukan investasi di Iran selama beberapa tahun ini. Oleh karena itu, Uni Eropa menegaskan akan bertindak untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi-nya. Jelaslah bahwa Donald Trump telah memojokkan Uni Eropa dan AS ke dalam posisi berkonfrontasi.
Penarikan diri AS dari permufakatan nuklir Iran juga menimbulkan bahaya meningkatkan ketegangan antara AS dengan Rusia dan Tiongkok-dua negara anggota Kelompok P5+1 yang selama ini mendukung naskah ini.
Meski Presiden Donald Trump membuka kemungkinan merundingkan satu permufakatan baru dengan cara akan terus melakukan temu kerja dengan para sekutunya untuk menuju ke satu permufakatan yang sesungguhnya dan menyeluruh serta memecahkan secara tuntas ancaman nuklir Iran, namun hal ini masih sangat samar-samar dan tidak mudah.
Pada dua tahun lebih lalu, seluruh dunia telah merasa gembira ketika JCPOA ditandatangani-satu awalan baik bagi upaya-upaya keras non-proliferasi di seluruh dunia. Namun, sulit ada orang yang mengira bahwa sekarang dengan perhitungan Washington, permufakatan ini menjadi lebih labil dari pada yang sudah-sudah.