(VOVWORLD) - Hubungan Amerika Serikat (AS)-Iran sedang menghadapi prahara baru setelah Pemerintah pimpinan Presiden AS, Donald Trump meningkatkan tekanan terhadap negara Timur Tengah ini dengan banyak langkah, yang terkini ialah menandatangani perintah sanksi ekonomi pada tanggal 2 Agustus ini. Presiden Donald Trump menekankan: Sanksi tambahan ini bertujuan mengirim pesan kepada Iran bahwa orang AS akan tidak menenggang perilaku berbahaya dan menimbulkan destabilitas yang dilakukan Iran. Namun, opini umum menganggap bahwa sasaran terakhir dari gerak gerik ini bertujuan merusak permufakatan nuklir yang telah ditandatangani oleh Iran dengan kelompok P5+1 (yang meliputi Tiongkok, Perancis, Rusia, Inggeris, AS plus Jerman)
Pertemuan tentang permufakatan nuklir di Wina (Austria). (Foto: AFP/Kantor Berita Vietnam) |
Sanksi ekonomi baru yang dikenakan oleh AS terhadap Iran telah ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pada hari yang sama dengan sanksi terhadap Rusia dan Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK). Menurut kalangan otoritas AS, sanksi-sanksi ekonomi yang baru ini bertujuan membalas Teheran yang mengembangan program rudal balistik dan menimbulkan ketegangan di kawasan. Gerak-gerik ini dikeluarkan setelah AS memperingatkan kepada Iran yang tidak menaati semangat Perjanjian nuklir yang ditandatangani antara Iran dengan Kelompok P5+1.
Kalangan otoritas AS meningkatkan tekanan terhadap Iran
Sanksi ekonomi yang baru saja ditandatangai pemberlakuannya menyasar pada para maujud dan perseorangan yang mendukung apa yang dinamakan sebagai “faktor-faktor Iran ilegal atau aktivitas kriminalitas lintas nasional”. Selain itu, Kementerian Luar Negeri AS juga menunjukkan secara jelas dua organisasi Iran yang bersangkutan dengan program rudal balistik Teheran.
Sebelum menandatangani sanksi tambahan, Presiden Donald Trump dan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson menganggap bahwa Iran tetap merupakan “salah satu di antara ancaman-ancaman yang paling berbahaya terhadap kepentingan-kepentingan AS dan stabilitas di kawasan”. Tindakan-tindakan Iran telah menggerus secara serius Rencana Aksi Bersama yang Komprehensif (JCPOA), oleh karena itu Iran tidak mempunyai semangat JCPOA. Bahkan pada bulan Juli 2017, Presiden Donald Trump telah memberikan instruksi kepada Penasehat Gedung Putih supaya mengeluarkan argumentasi-argumentasi terhadap penghentian permufaktan nuklir dengan Iran pada bulan Oktober mendatang. Pemerintah pimpinan Presiden Donald Trump juga mempelajari dan memperhebat aktivitas inspkesi terhadap basis-basis militer Iran yang mereka anggap dicurikan-satu gerak-gerik yang telah ditolak oleh Iran dan dianggap bersifat provokatif. Juga pada bulan Juli lalu, AS menerapkan satu sanksi terhadap 18 perseorangan dan organisasi yang dianggap membantu program rudal balistik Iran. Pada saat itu, Kementerian Luar Negeri mengeluar alasan bahwa Iran membantu Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Pada pihak analis, mereka memberitahukan bahwa semua gerak-gerik AS tampaknya bertujuan memprovokasi Iran menjadi perusak permufakatan nuklir dan AS menangkap kesempatan untuk berdominan dalam masalah ini. Bahkan ada banyak pendapat yang menegaskan bahwa gerak-gerik Presiden AS, Donald Trump mungkin menimbulkan satu krisis baru. Menghentikan permufakatan nuklir dengan Iran mungkin membuat Teheran percaya bahwa kemampuan nuklir merupakan kunci membantu menjamin keamanan. Kalau begitu bisa muncul satu perlombaan senjata yang berbahaya di Timur Tengah dengan partisipasi dari negara-negara seperti Arab Saudi atau Uni Emirat Arab, negara-negara yang selama ini sedang berupaya mengembangkan senjata nuklir mereka sendiri.
Reaksi yang hati-hati dari Iran.
Tiga hari setelah Presiden AS menandatangani perintah sanksi tambahan terhadap Iran, Presiden Iran, Rohani, pada tanggal 5 Agustus, telah bertemu dengan Wakil Senior urusan Kebijakan Hubungan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, Federica Mogherini untuk menyerukan upaya-upaya lebih banyak lagi guna mempertahankan permufakatan nuklir yang telah dicapai pada tahun 2015, setelah sanksi-sanksi baru yang dikenakan oleh AS terhadap Teheran. Presiden Rohani menegaskan: Republik Islam Iran tidak merupakan pihak pertama yang melanggar permufakatan nuklir, tapi akan tidak tinggal diam saja kalau AS tidak menghormati komitmen-komitmennya. Iran akan membalas sanksi-sanksi baru AS, khususnya terhadap program rudal balistik Teheran dan Pasukan Garda Revolusi, melanggar permufakatan-permufakatan nuklir karena ia mencegah Teheran menormalisasikan hubungan ekonomi dengan bagian sisanya dunia dan berpengaruh buruk terhadap investasi asing.
Ketika memberikan reaksi moderat, pada Selasa (8 Agustus), Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif memberitahukan: Salah satu di antara kebijakan-kebijakan diplomatik prioritas Teheran ialah berupaya keras mengurangi ketegangan dengan Washington dan Iran menginginkan perdamaian antara negara-negara. Ketika mengungkapkan JCPOA, Menteri Luar Negeri Javad Zarif menganggap bahwa Washington tidak bisa mencegah Teheran mendapatkan kepentingan dari permufakatan ini. Kementerian Luar Negeri Iran berkomitmen akan membela kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh negara ini dari JCPOA, bersamaan itu menunjukkan jelas bahwa justru AS sendiri akan membayar mahal karena kemungkinan Washington menghentikan permufakatan ini.
Gerak-gerik Iran dianggap lihay pada latar belakang sekarang ini. Menurut opini umum Timur Tengah, di belakang sanksi-sanksi AS ialah kampanye boikot dan AS sedang berupaya keras mengubah Pemerintah Iran dari dalam.
Hubungan antara AS dan Iran menjadi tegang setelah Presiden AS, Donald Trump dilantik pada bulan Januari 2017. Donald Trump pernah mengecam keras permufakatan nuklir antara Iran dan Kelompok P5+1 - satu warisan diplomatik menonjol dari pemerintahan pendahulu Barack Obama. Dengan mengenakan tambahan sanksi terhadap Iran, Pemerintah AS tidak hanya menimbulkan kesulitan terhadap negara Timur Tengah ini, melainkan juga berpengaruh negatif terhadap permufakatan nuklir antara Iran dan Kelompok P5+1.