Prospek Memulihkan Kesepakatan Nuklir ketika Iran Memiliki Presiden Baru

(VOVWORLD) - Pemilihan presiden (pilpres) Iran diadakan pada 18 Juni di tengah proses perundingan untuk menghidupkan kembali JCPOA antara Iran dengan Kelompok P5 plus 1 (meliputi Amerika Serikat (AS), Rusia, Inggris, Perancis, Tiongkok dan Jerman) yang telah mengalami beberapa putaran perundingan di Wina (Austria) dengan kemajuan-kemajuan tertentu, tetapi tetap belum mencapai target yang diajukan. Oleh karena itu, pertanyaan bahwa terpilihnya Ebrahim Raisi, seorang pemimpin yang mengikuti garis politik keras menjadi Presiden Iran menimbulkan dampak bagaimana terhadap  proses perundingan yang sedang mendapat perhatian besar dari opini umum internasional.
Prospek Memulihkan Kesepakatan Nuklir ketika Iran Memiliki Presiden Baru - ảnh 1Presiden Iran, Ebrahim Raisi  (Foto: Arash Khamooshi/The New Yorks Times)

Dalam satu pernyataan resmi setelah ditetapkan dipilih  menjadi Presiden Iran, Ebrahim Raisi berkomitmen akan mengikuti jalan perundingan untuk memulihkan kesepakatan nuklir. Ini dianggap sebagai satu indikasi positif terhadap proses perundingan meskimpun jalan menuju ke kompromi terakhir etap dinilai sangat panjang dan penuh dengan onak dan duri.

 

Indikasi Positif bagi Perundingan

Menurut para analis, perihal presiden terpilih Iran berkomitmen  terus mengikuti jalan perundingan untuk memulihkan kesepakatan tersebut berarti negara Islam ini akan tidak meninggalkan proses perundingan yang tengah diadakan di Wina sedikitnya di masa mendesak. Hal itu berarti semua pihak tidak akan harus melakukan “perundingan dari awal” seperti yang dicemaskan sebelum pilpres Iran diadakan. Dengan kata lain, komitmen meneruskan perundingan untuk memulihkan kesepakatan nuklir dari presiden terpilih Iran dianggap segagai jaminan dari pihak negara Islam ini bahwa proses ini akan tidak dibalikkan setelah Ebrahim Raisi memimpin negara ini sebagai pengganti Presiden Hassan Rouhani pada Agustus mendatang.

Pada latar belakang itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman, Heiko Maas pada 23 Juni mengumumkan Iran dan negara-negara adidaya telah mencapai kemajuan dalam perundingan tentang pemulihan JCPOA. Dalam pidatonya kepada kalangan pers setelah pertemuan dengan Menlu AS, Antony Blinken di Berlin, kepala badan diplomatik Jerman mengatakan bahwa masih ada kemungkinan mencapai permufakatan setelah Iran memiliki pemimpin baru. Sepandangan dengan ini, dalam satu pernyataannya pada 20 Juni, Wakil Senior Uni Eropa urusan Kebijakan Keamanan dan Diplomatik, Josep Borrell juga menilai bahwa pihak-pihak terkait tengah sangat mendekati satu permufakatan dan “masih bisa mencapai satu permufakatan untuk memulihkan JCPOA setelah Ebrahim Raisi terpilih menjadi presiden Iran”.

Di sisi lain, media negara Iran pada 23 Juni merilis kata Mahmoud Vaezi, Kepala Kantor Kepresidenan Iran yang mengumumkan kalangan otoritas AS dan Irak telah mencapai permufakatan menghapuskan semua sanksi terhadap bidang asuransi, minyak tambang dan pengangkutan yang dikenakan di zaman pimpinan Presiden Donald Trump. Dengan demikian ada sekitar 1.040 perintah sanksi akan dihapuskan.

Bisa dilihat, kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam praktik perundingan dan komitmen mempertahankan perundingan dari presiden terpilih Iran adalah indikasi yang baik bagi proses ini. Tetapi, hal itu tidak berarti kemungkinan mencapai terobosan dalam perundingan-perundingan akan meningkat karena hakekat masalahnya yang rumit dan terkena dampak dari banyak faktor.

 

Sulit Mencapai Hasil yang Menggembirakan

Praktik perundingan nuklir Iran selama ini maupun tahun-tahun sebelumnya menunjukkan pandangan pendekatan masalah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan antara AS dan Irak, merupakan rintangan terbesar untuk sampai ke permufakatan. Menurut itu, AS tetap meminta Iran harus memulihkan secara lengkap kewajiban sesuai komitmen dalam JCPOA sebelum masalah embargo dipelajari. Sementara itu Iran meminta agar penghapusan embargo harus dilakukan lebih dahulu.

Di samping kesulitan dari cara pendekatan masalah yang saling bertentangan tersebut, AS dan Iran juga saling bertentangan tentang pandangan dalam banyak masalah regional lainnya, terutama di medan perang Irak dan Suriah yakni masalah-masalah yang menimbulkan pengaruh dominan terhadap keputusan-keputusan yang terkait masalah nuklir. Selain itu, bagi pemerintah AS, dikeluarkannya keputusan di meja perundingan tentang masalah nuklir Iran harus memperhitungkan sikap para sekutu penting di kawasan seperti Israel atau Arab Saudi. Sementara itu bagi pemerintah Iran, penyesuaian yang manapun tentang haluan perundingan, terutama langkah-langkah yang bersifat memberi konsesi harus memperhitungkan tekanan dari opini umum dalam negeri, khususnya dari pihak Ayatullah Ali Khamenei.

Pada latar belakang itu, hingga saat ini baik AS maupun Iran juga menyatakan belum berminat melakukan pertemuan puncak antara Presiden AS dan presiden terpilih Iran di masa depan.  Oleh karenya, kemungkinan mencapai perkembangan yang bersifat terobosan di meja perundingan nuklir pada saat Iran memiliki presiden baru adalah sangat rendah. Hal itu juga berarti baik AS, Iran maupun pihak-pihak terkait perlu memiliki pandangan yang positif dalam putaran-putaran perundingan yang akan datang barulah ada harapan untuk menghidupkan kembali JCPOA.  

Komentar

Yang lain