(VOVworld) - Situasi di semenanjung Korea sedang memanas setiap jam dengan adanya saling ancam antara Repbulik Demokrasi Rakyat (RDR) Korea dan Republik Korea dan semua fihak yang bersangkutan. Apakah satu perang antara dua bagian negeri Korea seperti yang telah terjadi 60 tahun lalu meledak atau tidak sedang mendapat perhatian dari opini umum dan sekaligus menjadi tema yang lebih panas dari pada yang sudah-sudah di berbagai media massa internasional.
Dalam satu gerak-gerik provokatif yang teramat berbahaya, pada 30 Maret lalu, RDR Korea menyatakan bahwa hubungan antar Korea telah jatuh pada situasi perang. Semua masalah antara dua bagian negeri Korea akan ditangani menurut prinsip masa perang. Sehari setelah itu, ketika berbicara di depan Sidang Pleno Komite Sentral Partai Pekerja Korea, pemimpin Kim Jong-un menegaskan perlunya mengupgrade gudang senjata nuklir, baik secara kuantitas maupun kualitas, bersamaan itu akan mengembangkan energi nuklir untuk meningkatkan hasil produksi listrik dan meluncurkan lebih banyak satelit lagi. RDR Korea memperingatkan bahwa semua pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Jepang dan Republik Korea akan menjadi sasaran serangan yang pertama negara ini kalau perang meledak di semenanjung Korea.
Presiden RDR Korea Kim Jong-un(baju hitam muda)
Tidak hanya omong kosong saja, pemimpin Kim Jong-un menginstruksikan kepada semua satuan rudal strategis negara ini supaya mengarahkan ke semua pangkalan militer AS di Republik Korea dan Pasifik, setelah Pentagon mengerahkan dua pesawat pembom siluman yang membawa senjata nuklir B-2 ke semenanjung Korea. Sementara itu, sumber berita militer Republik Korea telah membocorkan bahwa jumlah serdadu dan kendaraan militer naik drastis di semua tempat peluncuran rudal di RDR Korea. Suasana siaga tempur menjadi panas di seluruh RDR Korea dengan pekerjaan – pekerjaan mengkamufflase kendaraan militer, memasang spanduk dan slogan yang antara lain menyerukan “basmi Imperialis Amerika Serikat” dan mendesak warganya bertempur “dengan senjata, jadi bukan dengan omongan saja”. Gedung Putih memberitahukan bahwa ancaman baru dari RDR Korea adalah “sangat serius” dan Washington akan berhubungan erat dengan sekutunya Republik Korea untuk mengawasi semua gerak - gerik dari RDR Korea, disamping itu menuduh bahwa hanya RDR Korea-lah yang bersalah kalau ketegangan di semenanjung Korea mengalami eskalasi secara serius. Banyak negara, misalnya Thailand dan Filipina telah membuat rencana mengungsikan warganya dari Republik Korea, karena merasa cemas tentang perang di semenanjung Korea yang sedang mendekat.
Perbatasan antar Korea.
Meskipun “irama genderang” sedang terdengar bertubi-tubi, tetapi banyak pendapat beranggapan bahwa sulit terjadi satu perang total. Penyebab paling besar yang menjelaskan pendapat ini yalah kalau perang terjadi akan menimbulkan kerugian berat terhadap semua fihak yang bersangkutan, ketika kerjasama ekonomi sedang menjadi kecenderungan dominan dalam hubungan internasional. Kalau ada, hanya dengan cara membawa kawasan ke tepi jurang bentrokan dengan ancaman-ancaman dan provokasi saja. Pyong Yang sedang ingin menyerap perhatian dari opini umum, menimbulkan tekanan untuk memaksa AS kembali ke meja perundingan, menciptakan tekanan terhadap Presiden baru Republik Korea untuk mengubah politik terhadap Pyong Yang, bersamaan itu memperkokoh semangat persatuan internal Tanah Air, terutama sejak pemimpin muda Kim Jong-un berkuasa. Dengan cara menciptakan kesan bahwa satu serangan terhadap AS akan segera terjadi, RDR Korea bisa meningkatkan semangat persatuan bangsa dan memberikan dorongan semangat kepada warganya supaya berhimpun di sekitar pemimpin baru mereka. Satu indikasi lain untuk menyingkirkan kemungkinan berlangsungnya perang total ialah RDR Korea baru-baru ini mengangkat Pak Pong-ju – seorang tokoh yang dianggap berfikiran reformis, menjadi Perdana Menteri.
Pak Pong-ju – seorang tokoh yang dianggap berfikiran reformis, menjadi Perdana Menteri.
(Foto: www.mediafax.ro )
Ini bisa merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa pimpinan negara ini menaruh perhatian pada soal pembaruan dan reformasi perekonomian. Untuk memperkokoh lagi penjelasan ini, ialah pada Sidang Pleno Komite Sentral Partai Pekerja Korea baru-baru ini, pemimpin Kim Jong-un menyatakan akan menerapkan satu garis politik strategis baru Tanah Air, yang antara lain menunjukkan: Membangun ekonomi seiring dengan mengembangkan senjata nuklir. Dengan demikian bisa dimengerti bahwa pastilah Pyong Yang akan tidak berencana melakukan serangan militer terhadap Republik Korea dan AS dalam masa depan yang dekat. Di Pyong Yang, selama beberapa hari ini bisa terlihat situasi yang saling bertentangan, pada saat ada ratusan ribu prajurit, mahasiswa dan buruh yang menjunjung tinggi genggaman tangan untuk memanifestasikan dukungan mutlak terhadap Marsekal Tentara Korea, Kim Jong-un yang terletak di Lapangan Kim Yong-il di jantungnya ibukota, tapidi tempat-tempat lain di negara ini, restoran, toko, kebun pertanian dan pabrik, semua aktivitas tetap berlangsung secara normal dan tampaknya para warga telah terlalu terbiasa dengan pernyataan perang.
Bulan Juli mendatang akan genap 60 tahun sejak satu perjanjian gencatan senjata antara dua bagian negeri Korea ditandatangani, menghentikan perang berlumuran darah yang sudah memakan waktu selama tiga tahun, sehingga merampas jiwa kira-kira 3 juta orang. Setelah 60 tahun ini, Republik Korea muncul dari satu negeri agraris yang miskin, telah menjadi perekonomian papan atas di dunia, pada saat RDR Korea tetap harus bergulat dan mencari jalan ke luar pasca perang, dengan pendapatan rata-rata perkapita sama dengan kawasan dekat Sahara di Afrika. Oleh karena itu lebih dari pada yang sudah-sudah, Pyong Yang sedang sangat memerlukan satu reformasi buka pintu. Tapi, semua embargo dan sanksi yang dikenakan oleh Amerika Serikat dan Barat terhadap RDR Korea sampai sekarang tetap tidak mencegah tekat mengembangkan senjata nuklir negara ini. Selama semua pihak tetap memilih solusi mendemonstrasikan kekuatan militer sebagai pengganti perundingan, maka selama itu pula perdamaian di semenanjung Korea tetap jauh di mata./.