(
VOVworld) - Pernah dianggap sebagai negara yang paling sukses dalam proses transisi demokratis pasca gerakan “Musim Semi Arab” di Timur Tengah dan Afrika Utara, Tunisia sedang harus mengalami masa instabilitas politik, ada bahaya tergulung dalam badai krisis di kawasan. Setelah "Revolusi Bunga Melati” pada Maret 2011, kontradiksi dalam internal persekutuan yang berkuasa serta tentangan dari faksi oposisi sekarang semakin meningkat sehingga terancam oleh meledak-nya kemmbali gelombang revolusi kedua di negara ini.
Pada hari-hari belakangan ini, ribuan orang Tunisia turun ke jalan untuk mengikuti demonstrasi menentang Pemerintah. Suasana di jalan - jalan di Tunisia membuat orang terasosiasi dengan semua yang sudah terjadi dua tahun lalu, ketika seorang pemuda bernama Mohamed Bouaziz membakar diri untuk menentang penindasan yang dilakukan Pemerintah terhadap para pedagang kaki lima yang mencari nafkah hidup di jalan - jalan. Api kemarahan itu telah melanda luas di seluruh negeri sehingga berubah menjadi “
Revolusi Bunga Melati”, menciptakan selar sejarah dengan penggulingan terhadap rezim kediktaturan pimpinan Presiden Ben Ali, bersamaan itu menjadi ilham bagi revolusi yang melanda di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara dengan nama “
Musim Semi Arab”.
Kalau terbanding dengan negara- negara di kawasan yang pernah dilewati angin reformasi, maka proses transisi politik di Tunisia dinilai sebagai cukup tenang. Hanya beberapa bulan setelah diktator Ben Ali terguling, berlangsungnya pemilu demokratis pertama telah membuat opini umum mengira bahwa negara ini memasuki satu era politik baru. Akan tetapi, kegembiraan akan perkembangan Tanah Air tidak berlangsung lama, karena semua kontradiksi internal masih seperti api dalam sekam di dalam masyarakat, antara satu fihak adalah kekuatan sekularis oposisi dan faksi yang lain yalah faksi Islam yang berkuasa. Sejak meledaknya peristiwa pembunuhan terhadap politikus radikal Chokri Belaid pada Februari 2013, setelah itu yalah legislator anti Islam M.Brahmi pada Juli 2013, maka negara di tepian Laut Tengah itu telah benar - benar tenggelam dalam huru - hara. Banyak orang Tunisia telah melemparkan kesalahan terhadap partai Islam Moderat Ennahda yang berdiri di belakang dua kasus pembunuhan tersebut. Meskipun, pada akhir Juli lalu, Menteri Dalam Negeri Lotfi Ben Jeddou telah menunjukkan bahwa Seorang anggota Gerakan Islam Sekte Sunni, Salafist adalah biang keladi pembunuhan terhadap tokoh oposisi M.Brahmi, tapi hal itu telah tidak bisa meredakan kemarahan dari kekuatan oposisi. Bahkan, para demonstrasi yang dilancarkan oleh faksi oposisi telah menuntut kepada Pemerintah yang dipimpin oleh orang Muslim supaya mengundurkan diri.
Barangkali, jalan melakukan reformasi di Tunisia akan tidak mengalami kesulitan seperti itu jika tidak ada gejolak politik di negara tetangga Mesir, sehingga mengakhiri masa kepemimpinan yang singkat dari mantan Presiden Mesir, Mohamad Morsi. Perkembangan-perkembangan di negeri piramida itu jelaslah telah menjadi sumber tambahan tenaga kepada para demonstran di Tunisia, menciptakan gerakan perlawanan yang keras. Bersama-sama berada di bawah kepemimpinan faksi Islam, peta jalan demokrasi dan gejolak-gejolak yang terjadi terus menerus dalam waktu lalu di dua negara tersebut telah menimbulkan kesangsian bahwa sangat banyak kemungknan Tunisia akan menjadi satu Mesir yang kedua. Kekhawatiran tentang situasi Islamisasi terhadap pemerintah sipil seperti satu intrik strategis dari Partai Ennahda - Partai Politik yang paling besar dalam Persekutuan yang berkuasa untuk mengubah Tunisia menjadi satu negara Islam adalah sebab-musabab yang mengakibatkan instabilitas yang serius di negara ini.
Itu belum habis, pada saat situasi politik yang tidak stabil dan kontradiksi antar-faksi meningkat, Tunisia tetap harus menghadapi timbulnya kelompok Islam Jihad yang bersangkutan dengan Organisasi Al-Qaeda yang membentuk pangkalan di lembah-lembah berhutan rimba dan gua-gua di daerah pegunungan yang berbatasan dengan Aljazair.
Pada akhir bulan Juli lalu, 8 serdadu Tunisia telah tewas dalam baku hantam dengan kaum teroris di kawasan ini. Ini juga merupakan salah satu diantara alasan-alasan yang membuat faksi oposisi menuduh Pemerintah telah gagal dalam mengekang kelompok-kelompok Islam ekstrimis yang sedang meningkatkan pengaruh. Ditambah lagi dengan keputusasaan di kalangan rakyat terhadap Pemerintah semakin besar karena prosentasi pengangguran mencapai 18%, korupsi melanda di mana - mana, ekonomi tidak berkembang terbanding dengan masa sebelum terjadi "
Revolusi Bunga Melati". Ini adalah api ketidakpuasan yang tidak tahu kapan akan meledak.
Sekarang ini, ketika menghadapi tekanan gelombang demonstrasi, Perdana Menteri Tunisia, pemimpin Partai Islam Ennahda yang berkuasa, Ali Larayed menyatakan menerima semua rekomendasi untuk menuju ke permufakatan tentang satu pemerintah koalisi atau pemerintah penyelematan Tanah Air dan menyerukan penyelenggaraan pemilu di negara ini pada 17 Desember tahun 2013 ini. Akan tetapi, pemerintah juga menolak segala dialog yang disertai dengan syarat menuntut kabinet supaya mengundurkan diri. Opini umum mencemaskan bahwa situasi di Tunisia akan tambah panas pada hari- hari mendatang. Bahaya kemungkinan terjadi-nya satu revolusi kedua di negara Afrika Utara ini adalah hal yang tidak dikecualikan oleh kalangan analis./.