(VOVWORLD) - Ukiran perunggu merupakan satu ragam seni unik yang kental dengan identitas kebudayaan Kamboja. Kita bisa dengan mudah menemukan karya-karya seni ukir dengan desain dan motif yang khas di kuil dan pagoda di seluruh Kamboja, khususnya di situs peninggalan sejarah Angkor Wat. Dan hingga sekarang, Chea Yuthea, pengukir perunggu yang sudah berusia 70 tahun dengan pengalaman hampir 60 tahun di Kabupaten Ponhea Leu, Provinsi Kandal, tetap sedang melaksanakan misi untuk melestarikan dan mewariskan kerajinan tradisional ini kepada generasi mendatang.
Pengukir perunggu Chea Yuthea. Foto: VOV |
Ukiran perunggu tradisional Angkor merupakan ragam seni yang sangat sulit, membutuhkan banyak waktu dan harus dilakukan secara teliti. Penyelesaian satu karya seni ukir memakan waktu setidaknya dua bulan atau lebih, bergantung pada ukuran dan ragamnya, karena pengukir harus membuat karya-karya itu secara manual tanpa menggunakan mesin modern. Bapak Chea Yuthea memberitahukan:
Untuk menyelesaikan setiap karya membutuhkan banyak waktu, bahkan sampai 4-5 bulan. Sebelum melaksanakannya, perlu dilakukan persiapan dan perhitungan yang cermat bersama dengan konsentrasi yang tinggi untuk menciptakan karya yang sempurna. Sedikit keteledoran saja atau sedikit ketidaktepatan palu, dapat merusak seluruh karya, dan bahkan harus memulainya dari awal lagi.
Karya-karya ukiran tentang Angkor Wat sangat disukai orang asing. Foto: VOV |
Pembuatan setiap produk ukiran tradisional membutuhkan banyak waktu, oleh karena itu setiap tahun Bapak Chea Yuthea hanya mampu membuat dan menjual dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu, pembelian karya buatan Bapak Chea Yuthea tidak mudah. Banyak pelanggan di luar negeri seperti Amerika Serikat, Australia, dan Thailand juga memesan produk ukiran buatannya melalui internet. Setiap karya berharga dari 1.000 hingga 10.000 USD. Dengan rasa cinta terhadap kerajinan, bakat dan ketelitiannya, dia telah mendapat anugerah gelar "Warisan Hidup" oleh Raja Kamboja. Pada usia 70 tahun, pengukir perunggu Chea Yuthea bertekad melestarikan seni ukir perak dan perunggu.
Dewasa ini, ada banyak pengrajin yang mengukir di banyak bahan dengan aneka gaya dan ragam. Namun, sangat sedikit orang tetap konsisten dengan gaya tradisional Angkor. Menurut hemat saya, kita perlu melestarikan dan mengembangkan seni ukir tradisional Angkor agar supaya generasi mendatang mengetahui bahwa ini merupakan produk yang dibuat warga Khmer.
Karya-karya ukiran tradisional Angkor dibuat secara manual. Foto: VOV |
Bapak Chea Yuthea mengatakan, dulu dia juga mengajarkan kerajinan untuk banyak siswa. Namun karena saat itu belum ada pasar, harga jual karya-karya ukiran rendah, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga hampir semua siswanya berhenti dan beralih ke profesi lain. Hingga sekarang, ketika kerajinan ukir perunggu semakin dikenal dan memberikan pendapatan yang lebih stabil, semakin banyak pemuda datang untuk belajar kerajinan ini dari dia. Saudara Sros Chomran yang belajar seni ukir perunggu dari Bapak Chea Yuthea selama lebih dari 20 tahun ini mengatakan bahwa dia bertekad untuk menekuni kerajinan tersebut hingga akhir, karena ini merupakan warisan yang ditinggalkan oleh generasi pendahulu.
Saya menerima pengetahuan dan keterampilan dari Bapak Chea Yuthea. Dari apa yang dia ajarkan, saya belajar dan memahami lebih banyak hal. Mulai dari tahap persiapan, pembuatan sketsa, penghitungan, dan pengukiran pola-pola dari yang sederhana hingga yang rumit.
Genre seni ukir mengharuskan pelajar menyediakan waktu sekitar satu tahun untuk menguasainya. Namun terhadap kerajinan ukir perunggu, pembelajar membutuhkan kegairahan dan tekad yang besar. Bapak Chea Yuthea, dengan keinginan agar ragam seni tradisional ini diakui baik di dalam maupun luar negeri, tetap melanjutkan karirnya dalam mewariskan kerajinan tersebut kepada generasi berikutnya./.