(VOVworld) – Aktivitas reklamasi pulau dan militerisasi kawasan Laut Timur yang dilakukan oleh selama ini Tiongkok telah membuat komunitas internasional sangat mencemaskan, diantaranya ada negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Ketika Asosiasi ini terbentuk menjadi Komunitas Bersama, ASEAN nampaknya memperkuat pemahaman tentang peranannya terhadap sengketa di Laut Timur.
Ilustrasi
(Foto: thanhnien.com.vn)
Laut Timur sekarang ini bukanlah masalah dari negara-negara yang punya klaim kedaulatan, tapi dari semua negara yang mempunyai kepentingan di kawasan laut yang dianggap sebagai urat nadi di kawasan, termasuk juga negara-negara ASEAN. Dalam menghadapi ketegangan-ketegangan di Laut Timur belakangan ini, ASEAN nampaknya sudah tidak menghindar lagi.
Lebih bersolidaritas
Pada Konferensi Tingkat Tinggi Amerika Serikat (AS)-ASEAN yang diadakan di California pada 2/2016, sengketa wilayah merupakan satu tema besar yang dibahas, tapi pernyataan bersama telah tidak menunjukkan secara kongkrit nama Laut Timur. Dua pihak mengimbau “menghormati kedaulatan setiap negara dan hukum internasional”. Banyak analis menilai bahwa tidak diungkapkannya Tiongkok dalam pernyataan bersama setelah konferensi tersebut memperlihatkan perpecahan yang semakin besar di kalangan ASEAN dan perpecahan itu sedang merusak solidaritas dari Asosiasi. Akan tetapi, hanya sepekan kemudian, pada Konferensi terbatas Menteri Luar Negeri (Menlu) ASEAN yang berlangsung di Vientiane, ibu kota Laos pada 27/2, semua perhatian dan pernyataan dari para menteri tentang masalah Laut Timur sedikit lebih kuat. Pada konferensi kali ini, para Menlu ASEAN telah mengeluarkan secara kongkrit metode pemecahan atas sengketa di Laut Timur seperti “semua sengketa perlu dipecahkan secara damai, diantaranya menghormati semua proses diplomatik dan hukum, tidak menggunakan kekerasan atau mengancam menggunakan kekerasan”. Ini untuk pertama kalinya satu pernyataan resmi ASEAN, selain mengungkapkan masalah menghormati perundingan diplomatik secara damai juga mendukung langkah hukum dalam sengketa kedaulatan. Menurut Profesor Muda Le Van Cuong, mantan Kepala Institut Penelitian Strategi dari Kementerian Keamanan Publik, ini bisa dianggap sebagai kemajuan yang positif dari ASEAN. Dia mengatakan: “Kami berpendapat bahwa reaksi seperti itu adalah positif. Ke sepuluh negara ASEAN mempunyai nasib bersama. ASEAN mempunyai posisi yang penting, bukan hanya demi bidang ekonomi. Pada latar belakang internasional dewasa ini, ASEAN perlu mengembangkan peranan sebagai pusat konektivitas kawasan dan dunia”.
Pernyataan pers dari Ketua Konferensi tersebut juga menunjukkan bahwa ASEAN terus “merasa cemas secara mendalam” tentang semua perkembangan situasi yang rumit di Laut Timur, diantaranya ada masalah “reklamasi dengan skala besar dan peningkatan aktivitas yang merugikan perdamaian, keamanan dan kestabilan di kawasan”. ASEAN mengimbau tidak melakukan militerisasi dan mengekang diri di kawsan ini. Profesor Muda, Doktor Nguyen Vu Tung dari Institut Laut Timur mengatakan: “Cara melukiskan situasi Laut Timur meningkat. Hal ini memanifestasikan perkembangan-perkembangan yang sedang punya indikasi bereskalasi. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok bertentangan dengan hukum internasional dewasa ini, terdiri hukum internasional UNCLOS 1982, bertentang dengan semua pernyataan politik bilateral dan multilateral. Bagi negara-negara ASEAN, perilaku yang dilakukan oleh Tiongkok adalah perilaku yang dilakukan oleh satu negara besar terhadap negara-negara tetangga yang lebih kecil dalam sengketa kedaulatan. Perilaku Tiongkok telah menimbulkan pengaruh sangat besar terhadap kepercayaan dari semua negara”.
Masalah Laut Timur yang dibahas secara terbuka dan dikemukakan dalam pernyataan pers setelah konferensi tersebut memperlihatkan Keketuaan ASEAN 2016 dari Laos cukup seimbang. Pada konferensi ini, Deputi Perdana Menteri, Menlu Laos, Thongloun Sisoulith memberitahukan bahwa selaku ketua ASEAN, Laos akan bersama dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya mendorong kerjasama antara Tiongkok dengan ASEAN untuk terus melaksanakan DOC dan cepat menyusun COC. Tidak hanya Laos saja, Singapura juga terjun ikut serta ketika negara ini mengeluarkan gagasan menerapkan satu Kode etik atas semua peristiwa benturan di luar keinginan di laut (CUES) untuk menurunkan suhu ketegangan di Laut Timur. Selaku negara Koordinator hubungan ASEAN-Tiongkok tahun 2016, Singapura juga berkomitmen berfokus mendorong COC untuk membantu semua pihak peserta sengketa menangani ketegangan dan menghindari bentrokan.
Bersolidaritas mengembangkan peranan sentral dari ASEAN
Kenyataan memperlihatkan bahwa semua perkembangan di Laut Timur belakangan ini merupakan asal-usul yang menimbulkan kecemasan serius terhadap semua negara ASEAN yang pernah mempunyai kepentingan besar dalam menjamin keselamatan dan keamanan di kawasan laut ini. Aktivitas militerisasi yang terjadi di kawasan laut yang dipersengketakan sedang mengancam kestabilan kawasan.
Jelaslah bahwa sengketa di Laut Timur sedang menjadi salah satu perhatian utama dari ASEAN. Akan tetapi, apa yang harus dilakukan oleh ASEAN untuk bisa turut mengontrol maupun memecahkan masalah ini. Lebih dari pada yang sudah-sudah, ketika ASEAN telah menjadi “Satu komunitas bersama, satu nasib bersama”, maka solidaritas di kalangan ASEAN semakin mendapat prioritas primer. Hal ini sangat penting bagi ASEAN untuk mempunyai posisi mengemudikan dan menetapkan perkembangan regional serta turut menangani semua tantangan global.