(VOVWORLD) - Berlangsung dari tanggal 23-24 Mei di Tokyo, Jepang, Konferensi Nikkei "Masa Depan Asia" ke-29 yang bertema "Kepemimpinan Asia dalam satu dunia yang tidak stabil", berfokus pada pembahasan peranan utama Asia dalam dunia yang semakin kompleks yang disebabkan oleh ketidakstabilan geopolitik dan krisis iklim.
Konferensi Nikkei "Masa Depan Asia" ke-28 (Foto: VNA) |
Risiko ekonomi
Pada Konferensi tahun ini, para utusan membahas banyak topik, seperti: prospek perekonomian Asia; kerja sama regional untuk membangun ekosistem digital; upaya Asia dalam mencapai tujuan emisi nol bersih; peranan Jepang-AS-Republik Korea terhadap keamanan kawasan Asia Timur Laut, dan khususnya prospek perekonomian kawasan pada waktu mendatang di tengah gejolak yang kuat di dunia.
Dalam laporan prospek ekonomi yang diumumkan pada tgl 16 Mei, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai perekonomian Asia secara umum relatif optimis, khususnya di kawasan Asia Timur (Asia Timur Laut dan Asia Tenggara). Konkretya, PBB memperkirakan perekonomian di kawasan Asia Timur secara umum akan mencapai pertumbuhan sebesar 4,6% pada tahun ini dan 4,5% pada tahun depan. Hasil ini diperkokoh oleh kuatnya permintaan dalam negeri, industri pariwisata yang terus pulih, dan ekspor barang yang menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Dalam prakiraan pada bulan April lalu, Krishna Srinivasan, Direktur Departemen Asia-Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF), memberikan penilaian serupa:
“Momentum pertumbuhan berbagai perekonomian di Asia sejak paruh kedua tahun lalu terus termanifestasikan pada tahun ini. Kami memprakirakan perekonomian Asia akan tumbuh sebesar 4,5% tahun ini, 0,3 poin persentase lebih tinggi dari prakiraan yang dikeluarkan pada bulan Oktober lalu. Secara keseluruhan, Asia akan memberikan sumbangan sebanyak 60% pada pertumbuhan global tahun ini.”
Akan tetapi, banyak ahli berpendapat bahwa masih banyak faktor yang mengancam pertumbuhan perekonomian Asia, terutama tingginya suku bunga yang dipertahankan dalam jangka waktu lama di banyak perekonomian besar di dunia. Pakar ekonomi Koichi Fujishiro dari Institusi Penelitian Kehidupan Dai-ichi (Jepang), mengatakan bahwa menguatnya mata uang USD, karena Federal Reserve AS (FED) mempertahankan suku bunga tinggi, berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jepang dan beberapa perekonomian Asia lain yang sangat bergantung pada impor energi dan pangan. Oleh karena itu, diskusi mengenai kebijakan ekonomi dan moneter Asia yang lebih independen di masa depan akan menjadi topik penting dalam Konferensi ini. Tauhid Ahmed, Direktur Pelaksana Lembaga Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Indonesia menilai:
“Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mulai menerapkan beberapa kebijaksanaan de-dolarisasi. Persoalan utama di sini ialah menyetujui penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan jasa, misalnya perdagangan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dapat dilakukan dengan mata uang negara-negara tersebut atau dapat menggunakan rupiah Indonesia, bukan dalam USD, atau perdagangan dengan Tiongkok dalam Renminbi (RMB)".
Krishna Srinivasan, Direktur Departemen Asia-Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF) (Foto :VNA) |
Risiko iklim di masa depan
Selain isu ekonomi, teknologi, dan keamanan, topik yang diprakirakan akan menjadi pembahasan utama pada Konferensi “Masa Depan Asia” tahun ini ialah pembangunan mekanisme bersama di antara negara-negara Asia untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Topik ini menjadi semakin mendesak ketika sebuah laporan yang diterbitkan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada tanggal 23 April menunjukkan bahwa Asia merupakan wilayah dengan bencana alam terbanyak di dunia pada tahun lalu, yang menyebabkan timbulnya banyak korban jiwa dan kerusakan besar ekonomi.
Sudah sejak sebelum dan selama Konferensi, Asia juga mengalami bulan April yang terpanas dalam sejarah, dengan gelombang panas yang hebat memanjang dari Asia Selatan (India, Bangladesh) hingga Asia Timur (Thailand, Filipina, Vietnam), bersamaan itu terjadi banjir serius di Tiongkok, UAE, Oman, Aghanistan...
Menurut kalangan pengamat, kehadiran pemimpin negara-negara yang sedang mengalami gelombang panas hebat pada Konferensi tahun ini, seperti: Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim; Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin; Deputi Perdana Menteri Kamboja Sun Chanthol... akan membantu diskusi mengenai krisis iklim Asia menjadi lebih diperhatikan./.