(VOVWORLD) - Kampanye pemilihan dari dua kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Ibu Kamala Harris dan Donal Trump dilakukan secara bertubi-tubi sampai beberapa hari terakhir sebelum pemungutan suara resmi yang akan berlangsung pada tgl 05 November ini. Perkembangan di lapangan memperlihatkan faktor-faktor yang paling sulit diduga dalam pemilihan-pemilihan Presiden (Pilpres) sejak banyak dekade lalu.
Ilustrasi (Foto: Getty) |
Upaya Tertinggi yang Kontroversial
Tahap pemilihan dengan upaya tertinggi dari Pilpres AS tahun ini termenonjol karena kasus-kasus yang menimbulkan banyak perdebatan. Pada pihak Donald Trump, pidato-pidato yang disampaikan beberapa pembicara undangan dianggap raisme terhadap para pemilih Puerto Rico dan para pemilih keturunan Amerika Latin pada defile kampanye pemilihan pada tagl 27 Oktober di New York menimbulkan banyak kekhawatiran yang besar bagi Partai Demokrat, karena krisis ini bisa mengubah kecenderungan memberikan suara yang sedang menguntungkan Partai Republik sekarang dan membantu faksi Demokrat merebut kembali daya lenting seperti yang dicapai pada dua sampai tiga bulan lalu, ketika Ibu Kamala Harris baru mencalonkan diri untuk mengganti Presiden Joe Biden.
Sementara itu, faksi Demokrat juga harus menangani krisis media terkait kasus “kesalahan kata-kata” dari Presiden Joe Biden ketika dia menggunakan kata-kata yang dianggap menghina para pemilih yang mendukung Donal Trump. Semua perdebatan ini membuat suasana pada hari-hari terakhir sebelum berlangsungnya Pilpres menjadi tegang dan sebagiannya melemahkan semua perhatian utama dari para pemilih AS, khususnya ketika baik Bapak Donald Trump maupun Ibu Kamala Harris juga meningkatkan serangan pribadi. Tetapi, Darrell West, pakar peneliti urusan pemerintah dari Institut Brookings di Ibukota Washington, menilai bahwa konfrontasi antara Donald Trump dan Kamala Harris selama lima bulan ini sebagiannya memperlihatkan keunggulan dari masing-masing pihak.
Terkait dengan kebijakan ekonomi, perhatian terbesar dari para pemilih AS, berbagai jajak pendapat opini umum menunjukkan bahwa para pemilih AS mengapresiasi penyelenggaraan ekonomi oleh Donald Trump, sementara itu komitmen-komitmen ekonomi yang dikeluarkan Ibu Kamala Harris dianggap belum ada aksentuasi. Tetapi, kalangan pakar menilai bahwa pada pokoknya kebijakan ekonomi dari dua kandidat memiliki lebih banyak kesamaan dari pada perdebatan di luar. Mark Weinstock, Prosesor Ekonomi di Univesitas Pace di New York menilai:
‘Di banyak segi, kebijakan ekonomi dari dua kandidat lebih banyak sama dari pada yang dibayangkan oleh orang-orang. Biaya bagi tentara dan keuangan anggaran pertahanan dalam dua rencana adalah sama. Dua kandidat adalah orang-orang yang mengikuti proteksionisme dan mendukung peningkatan tarif, hanya berbeda di tarafnya saja”.
Jarak yang Sempit
Berbagai jajak pendapat opini umum terkini di AS memperlihatkan bahwa Kamala Harris dan Donald Trump sedang berkompetisi secara gigih di seluruh negeri dan di berbagai negara bagian utama dengan selisihnya hanya 1-2 poin persen. Tetapi, ada satu hal yang sama dari semua jajak pendapat opini umum dan analisis pemilih ialah ketidak-amanan meningkat dalam opini umum AS terhadap Pilpres. Menurut hasil jajak pendapat yang diumumkan Kantor Berita AP dan Pusat penelitian pendapat opini umum nasional (NORC) dari Universitas Chicago pada tgl 30 Oktober, di antara lebih dari 1.200 orang dewasa di AS yang ditanya, hanya sekitar 30 persen memberitahukan antusias terhadap perlombaan antara Ibu Kamala Harris dan Donald Trump masuk Gedung Putih.
Menurut Kirby Goidel, Profesor Ilmu Pengetahuan-Politik di Sekolah Manajemen dan Administrasi Umum Bush, dari Universitas A&M Texas, ini merupakan hal yang bisa dimengerti di konteks perekonomian AS mengalami banyak gejolak selama beberapa tahun belakangan ini.
“Ini akan menjadi Pilpres kompetitif. Semua Pilpres tahun 2016 dan tahun 2020 hanya ditentukan oleh kesenjangan di bawah 100.000 suara pemilih. Oleh karena itu, ketika pilpres tahun ini menjadi lebih sengit maka harus dikhawatirkan”.
Justru para anggota Partai Demokrat dan Partai Republik juga merasa lebih cemas. Sekitar 80 persen anggota Partai Demokrat menyatakan kecemasan, naik sedikit dibandingkan dengan persentase sekitar 75 persen pada Pilpres sebelumnya, sementara itu sekitar 65 persen para anggota Partai Republik juga mempunyai perasaan yang sama, meningkat 5 persen dibandingkan dengan tahun 2020. Semua kecemasan ini berkisar pada perdebatan-perdebatan yang bisa muncul terkait dengan hasil pemilihan serta kondisi perpecahan di dalam dan pasca pemilihan.