Sejak Perang Dunia ke-2 berakhir, pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang atau disebutkan segagai Undang-Undang Dasar Damai-1947 menentukan: Jepang untuk selama-lamanya menghapuskan pencanangan perang dengan kekuasaan negara, tidak mempertahankan angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara dan kekuatan-kekuatan perang lain, tidak mengakui hak berperang dari Negara.
Kira-kira 7 dekade setelah perang dunia, larangan ini sedang mengekang Tokyo dalam menjamin keamanan nasional dan dalam partisipasi menjamin keamanan regional. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, Pemerintah Jepang ingin menginterprestasikan pasal 9 Undang-Undang Dasar Damai untuk memperkuat pembelaan keamanan nasional. Namun, cara pemahaman ini harus mendapat kesepakatan sedikit-dikitnya dua per tiga jumlah anggota dalam Parlemen Jepang dan kemudian ialah mayoritas pendapat rakyat dalam referendum nasional.
Berinisiatif membela keamanan nasional.
Dalam menghadapi perubahan mendasar situasi dunia, persaingan kekuatan negara-negara adi kuasa di Asia-Pasifik, soal menginterprestasikan Undang-Undang Dasar Damai dianggap akan memperluas secara berarti kemungkinan militer Jepang dengan cara menghapuskan larangan melaksanakan hak bela diri kolektif atau dibolehkan membantu satu negara sekutu yang sedang diserang. Dengan demikian, Jepang bisa menggunakan militer pada tarap minimal dalam hal-hal sekutu mereka diserang dan serangan ini punya cukup faktor-faktor seperti mengancam eksistensinya Jepang, mengancam langsung hak dapat hidup, kebebasan dan melaksanakan kebahagiaan rakyat Jepang. Pengubahan Undang-Undang Dasar juga melonggar pembatasan-pembatasan terhadap aktivitas-aktivitas Jepang dalam tugas-tugas menjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menghadapi bentrokan-bentrokan pada intensitas rendah yang disebutkan oleh Jepang sebagai situasi kawasan abu-abu.
Kemungkinan partisipasi-nya Tokyo lebih banyak pada aktivitas- aktivitas militer di kawasan dianggap sebagai perubahan besar terhadap neraca keamanan Asia. Profesor Alan Dupont dari Universitas New South Wales (Australia) menilai bahwa kalau bisa melampaui sistem politik Jepang, ini akan menjadi satu perubahan paling besar dalam kebijakan pertahanan Jepang sejak pasukan bela diri dibentuk pada tahun 1954. Menurut mantan diplomat Jepang, Kunihiko Miyake, akhirnya Jepang juga berhasil mengejar patokan global tentang keamanan. Sementara itu, Marushige Michishita -pakar tentang keamanan dari Sekolah Penelitian Kebijakan Nasional (GRIPS) di Tokyo beranggapan bahwa perubahan besar kebijakan keamanan dan pertahanan Jepang pasca Perang Dunia pada pokoknya akan membantu Jepang membela diri.
Sekutu mendukung, rakyat tidak setuju
Sampai sekarang, banyak negara, diantaranya ada para sekutu Jepang mendukung rencana menginterprestasikan lagi Undang-Undang Dasar Damai. Amerika Serikat memberikan dukungan karena menginginkan agar Jepang mempunyai posisi yang lebih seimbang dalam persekutuan militer Amerika Serikat-Jepang. Selanjut-nya yalah Australia, Filipina, semuanya menyampaikan dukungan. Menteri Luar Negeri (Menlu) Kamboja, Hor Nam Hong dalam pembicaraan dengan Menlu Jepang, Kishida di Phnom Penh (ibu kota Kamboja) akhir-akhir ini juga beranggapan bahwa rencana Jepang yang bertujuan menyerahkan peranan lebih besar kepada pasukan bela diri negara ini (SDF) akan turut mempertahankan perdamaian dan kestabilan dalam komunitas internaisonal.
Sementara itu, Tiongkok memberitahukan bahwa Beijing akan mempertinggi kewaspadaan terhadap maksud-maksud Jepang yang sebenarnya. Seoul mengakui bahwa bela diri kolektif merupakan satu hak nasional dari Tokyo, akan tetapi tidak menerima Pasukan Bela Diri Jepang (SDF) campur tangan pada bentrokan di semenanjung Korea tanpa usulan langsung dari Republik Korea.
Masalah menginterpresikan lagi Undang-Undang Dasar Damai yang kontroversial dalam opini umum Jepang tanpa memperdulikan penegasan dari Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe bahwa Jepang akan terus menjadi satu negara yang damai dan SDF akan tidak mengintevensi semua operasi militer di luar negeri. Hasil semua referendum di kelangan masyarakat Jepang akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa sedikit-dikitnya separo peserta referendum memprotes rencana ini. Menurut hasil penyelidikan yang dilakukan Koran Jepang “Mainici” pada akhir pekan lalu, 58 persen peserta referendum memprotes-nya. Hasil survei yang dilakukan Koran “Nikkei” pada tanggal 29 Juni menunjukkan bahwa separo penduduk Jepang menentang menghapuskan perintah larangan tentara ikut berperang di luar negeri. Alasannya yalah rakyat Jepang merasa cemas bahwa skala pelaksanaan hak bela diri kolektif Jepang akan diperluas segera setelah larangan ini dibatalkan. Sehari sebelum persekutuan yang berkuasa mengadakan pertemuan, banyak demonstran Jepang telah melakukan pawai, membawa slogan yang antara lain mengatakan : “Kami anti perang”.
Perihal partai-partai politik dalam Persekutuan yang berkuasa di Jepang menyepakati satu perubahan besar kebijakan keamanan tahapan pasca perang merupakan kemudahan awal bagi Perdana Menteri Shinzo Abe dalam merealisasikan rencana berinisiatif membela keamanan nasional. Akan tetapi, supaya bisa menerima dukungan rakyat menjadi tantangan yang tidak mudah diatasi terhadap persekutuan yang berkuasa di Jepang pada waktu mendatang./.