(VOVWORLD) - Tahun 2018 sedang berangsur-angsur ditutup bersama dengan terlalu banyaknya perkembangan rumit dalam kehidupan politik internasional. Ada perjalanan-perjalanan yang telah mencapai final, tapi juga ada perjalanan-perjalanan yang tetap belum selesai. Proses Brexit pada tahun tahun lalu bisa dianggap sebagai satu penggalan jalan yang penuh dengan kesulitan karena sampai saat ini, perceraian masih belum selesai dan skenario Brexit yang rampung pada bulan Maret 2019 seperti rencana semula sedang menjadi teramat tipis.
Ilustrasi (Foto: vna) |
Proses perundingan tentang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (atau disebut Brexit) digagas setelah referendum di Inggris pada tahun 2016. Sejak itu hingga sekarang, proses perundingan antara Uni Eropa dengan negeri embun tersebut berlangsung tidak lancar, khususnya pada tahun 2018, perselisihan-perselisihan dalam internal Inggris membuat permufakatan tidak bisa diesahkan oleh Parlemen dan terperangkap ke dalam kemacetan. Satu skenario Brexit tanpa permufakatan (No deal), tanpa Brexit (No Brexit at all) atau satu referendum ke-2 sedang banyak diperbindangkan orang.
Brexit mencapai permufakatan tapi macet di internal Inggris
Walaupun proses perundingan berlangsung secara sangat sulit dan penuh halangan, tetapi dengan upaya keras dari dua pihak, terutama pada bulan-bulan akhir tahun 2018, beberapa problematik dan perselisihan telah diatasi. Walaupun sudah pernah berulang kali mengeluarkan pandangan yang keras, tetapi baik Inggris maupun Uni Eropa akhirnya telah saling memberikan konsesi.
Pada tanggal 13 November 2018, para perunding dua pihak telah berhasil mencapai satu rancangan permufakatan raksasa yang tebalnya lebih dari 500 halaman, meliputi 185 butir, 3 protokol dan banyak sangat banyak opendiks. Titik berat permufakatan, selain masalah-masalah tentang status warga negara Inggris dan Uni Eropa pasca “perceraian”, rekeninng perpisahan senilai 45 miliar Euro, hal yang terbaru sekaligus paling penting ialah masalah garis perbatasan Irlandia Utara. Untuk menjamin tidak terbentuknya kembali garis perbatasan keras antara kawasan Irlandia Utara dari Kerajaan Inggris dengan Republik Irlandia dari Uni Eropa, maka kedua pihak telah mengeluarkan solusi yaitu mempertahankan seluruh Kerajaan Inggris dalam persekutuan beacukai Eropa dalam waktu transisi, jadi bukan hanya Irlandia Utara saja.Waktu transisi yang kongkrit belum diajukan, tetapi secara teori akan berkepanjangan sampai saat Inggris dan Uni Eropa berhasil menyelesaikan satu permufakatan tentang hubungan ekonomi masa depan antara dua pihak pasca Brexit. Akan tetapi, pada selama masa transisi ini, Irlandia Utara, selain harus menaati ketentuan-ketentuan dari blok pasar tunggal Eropa akan harus terkena pengelolaan yang lebih ketat tentang ketentuan-ketentuan Uni Eropa terbanding dengan bagian-bagian sisanya dari Kerajaan Inggris.
Tercapainya permufakatan teknis antara London dan Uni Eropa dianggap sebagai satu kemenangan penting bagi Pemerintah Inggris. Nampaknya proses ini akan bernangsung secara lancar dan mencapai final secara tepat waktu pada bulan Maret 2019. Akan tetapi, serentetan legislator dan politisi baik dari partai yang berkuasa maupun faksi oposisi telah mencela permufakatan tersebut secara keras. Gelanggang politik Inggris kembali bergejolak ketika ada sampai 4 menteri yang meletakkan jabatan untuk memprotes Perdana Menteri Inggris, Theresa May tentang perundingan Brexit.
Hal yang lebih patut dibicarakan ialah hasil poll menunjukkan ada separo jumlah pemilih Inggris yang mendukung penyelenggaraan referendum untuk memilih kembali proses Brexit (referendum ke-2) dan kira-kira 50% jumlah warga Inggris ingin tetap tinggal di Uni Eropa. Situasi tersebut meletakkan gelanggang politik Inggris mengalami saat-saat yang teramat sulit.
Masih bimbang antara keluar atau tidak
Menurut rencana Brexit, Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada tanggal 29 Maret 2019. Kalau sampai hari itu tidak mencapai permufakatan dan dua pihak tidak memperpanjanglagi batas waktu, Inggris akan menjadi negara di luar Uni Eropa tanpa ada tahapan transisi manapun. Menurut skenario ini, segera setelah tanggal 29 Maret 2019, Inggris akan kehilangan hak mendekati pasar bersama Eropa dan tidak lagi punya nama dalam perjanjian-perjanjian perdagangan Uni Eropa dengan negara-negara lain. Sampai saat ini, Kabinet Inggris nampaknya telah memperhitungkan opsi Brexit tanpa permufakatan, bersamaan itu memberitahukan akan memberikan suara untuk mengesahkan rancangan Brexit pada pertengahan bulan Januari 2019. Kalau benar seperti itu, kerugian-kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh proses Brexit terhadap ekonomi Inggris tidak bisa diukur. Dalam satu laporan baru-baru ini, perusahaan pemeringkat kepercayaan “Fitch” menilai bahwa laju pertumbuhan GDP Inggris akan merosot kira-kira 4% pada saat GDP dari 27 negara anggota Uni Eropa merosot 0,5%. Itu belum bicara tentang kemugkinan terjadi kekacauan sehingga mengakibatkan timbulnya huru-hara adalah sangat tinggi.
Untuk membawa Brexit sampai ke final secara sukses, pertama-tama, PM Theresa May harus berhasil menegakkan kepercayaan di kalangan para legislator, membawa Inggris mengatasi prahara pada bulan awal tahun baru. Akan tetapi, dalam menghadapi perkembangan-perkembangan seperti sekarang ini, nampaknya ini merupakan tugas yang tidak imprementatif. Seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang pejabat negeri embun tentang situasi sekarang ini bahwa “ada satu kesan lumpuh, kita menghadapi batas waktu dan arlogi sedang menghitung terbalik secara lebih cepat dari pada yang sudah-sudah, faksi-faksi menginginkan hal-hal yang sangat berbeda dan konsesi telah tidak ada lagi”.