(VOVWORLD) - Tiga tahun setelah dunia mencapai permufakatan Paris tentang Perubahan Iklim, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara sedang menghadapi tidak sedikit kesulitan untuk merealisasikan komitmen-komitmen yang tercantum dalam naskah bersejarah ini. Konferensi Tingkat Tingg ke-24 tentang perubahan iklim PBB (COP24) yang sedang berlangsung di Polandia dianggap sebagai peluang yang langka bagi negara-negara bersama dengan PBB untuk menyempurnakan standar-standar membimbing pelaksanaan Permufakatan Paris secara lengkap, tetapi tampaknya target ini tidak mudah dicapai.
Kira-kira 200 negara yang ikut menandatangani Permufakatan Paris 2015 tentang Perubahan Iklim memiliki waktu dua pekan (2-14 Desember) di Katowice, Polandia untuk menyempurnakan satu perangkat standar untuk mengekang meningkatnya suhu Bola Bumi di bawah 2 derajat Celsius terbanding dengan periode pra-industri dan terus berupaya keras untuk membatasi meningkatnya suhu sampai 1,5 derajat Celsius. Namun, situasi perubahan iklim sedang berlangsung lebih cepat dari pada langkah manusia dalam menghadapi manusia.
COP24 merupakan peluang langka.
Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim ke-24 di Polandia merupakan salah satu di antara dua konferensi terakhir menjelang tahun 2020 ketika Permufakatan Paris 2015 dengan resmi berlaku. Namun, sampai saat ini, tetap belum ada banyak gerak-gerik yang dijalankan oleh negara-negara untuk mencegah dampak-dampak dari perubahan iklim. Karena, pada kenyataannya, selama 3 tahun ini, gejala cuaca ekstrim di Bola Bumi tetap semakin meningkat. Dunia harus menyaksikan serentetan kebakaran hutan yang sengit, sehingga menewaskan banyak orang. Saat-saat ketika cuaca panas terik dengan suhu yang lebih tinggi dari 40 derajat Celsius di banyak negara dan kekeringan yang berkepanjangan, sehingga berpengaruh serius terhadap kesehatan manusia dan produksi pertanian. Gempa, tsunami dan topan semakin punya daya rusak yang kuat dan air laut semakin naik tinggi, sehingga mengakibatkan kegenangan di banyak daerahPelaku yang menimbulkan gejala alam ekstrim justru adalah pemanasan global tidak bisa dikontrol. Peringatan yang mengkhawatirkan yang diajukan oleh organisasi-organisasi meteorologi dan lingkungan dari PBB ialah suhu global sedang terus meningkat dan mungkin bertambah dari 3 sampai 5 derajat Celsius pada abad ini, jauh melampaui target batas tarap kenaikan dari 1,5 sampai 2 derajat Celsius yang ditetapkan dalam Permufakatan Paris. Sampai tahun 2030, volume gas limbah yang membuat Bola Bumi menjadi panas juga mungkin lebih tinggi dari 13 miliar sampai 15 miliar ton terbanding dengan batas yang diperlukan. Hal itu berarti bahwa dunia harus berupaya tiga kali lipat, bahkan lima kali lipat dari sekarang sampai tahun 2030 untuk mencapai target yang ditetapkan dalam Permufakatan Paris.
Pada latar tersebut, Konferensi COP24 di Polandia punya dua tugas utama yaitu mengajukan satu perangkat standar dengan rincian-rincian kongkrit untuk merealisasikan Perjanjian Paris setelah keputusan mundur dari Amerika Serikat dan tugas ke-2 ialah komimen politik yang jelas dan rencana aksi bagi target bersama pada tahun 2020. Ini merupakan peluang yang tidak bisa lebih baik untuk mengerahkan negara-negara bersinergi menanggulangi perubahan iklim. Tetapi pada kenyataannya, tidak mudah begitu melakukan kerjasama seperti itu.
Sulit mencapai target.
Wakil lengkap dari semua anggota PBB menghadiri COP24. Kalau melihat angka ini, maka semua orang percaya pada hasil positif pada konferensi ini. Namun, sayang sekali, para pemimpin utama internasional tidak hadir, sebagai penggantinya wakil tingkat yang lebih rendah. Atau dengan kata lain, para hadirin dalam COP24 sangat beraneka ragam, tetapi sulit ditemukan ada tokoh-tokoh berkaliber pada konferensi ini. Amerika Serikat telah menarik diri dari Permufakatan Paris pada tahun lalu. Sedangkan, Perdana Menteri Perancis, Edouard Philippe yang pernah dianggap sebagai politikus penting pada peristiwa ini, telah membatalkan kunjungannya di Polandia karena terjadi demonstrasi di dalam negeri. Mayoritas negara Eropa mengirimkan wakil tingkat kementerian. Sementara itu, hanya ada Afrika yang mengirim delegasi besar untuk hadiri dengan presiden-presiden Nigeria, Benin, Senegal, Botswana, Mauritania atau Kongo.
Menjelang COP24, Pemerintah baru Brazil menyatakan menarik usulan menyelenggarakan COP25 pada tahun depan. Sebelumnya, dalam kampanye pemilihan, Presiden terpilih Brazil, Jair Bolsonaro juga berkomitmen akan “mengekor” Amerika Serikat untuk menarik diri dari Permufakatan Paris karena tidak sepakat dengan langkah-langkah membela hutan Amazon. Gerak-gerik ini bisa menciptakan efek beruntun terhadap beberapa negara yang membuang banyak gas limbah CO2 dan banyak negara pengekspor minyak tambang kalau perangkat standar melaksanakan Permufakatan Paris tidak selesai pada Konferensi Tingkat Tinggi di Polandia.
Itu belum termasuk perpecahan dalam negara-negara Eropa, ketegangan dagang Amerika Serikat-Tiongkok juga berpengaruh terhadap kebijakan tentang perubahan iklim. Yang patut diperhatikan, komitmen Permufakatan Paris tentang pemberian bantuan perkembangan 100 miliar USD per tahun dari sekarang sampai tahun 2020 kepada kebijakan iklim dari negara-negara miskin seolah-olah seperti berjalan di tempat. Pada kenyataannya, setelah 3 tahun mencapai Permufakatan Paris, jumlah uang dari Dana 100 miliar USD per tahun” sekarang baru mencapai 10 miliar USD.
Jelaslah, dunia sedang terlambat dalam perang menanggulangi perubahan iklim. COP24 baru memulai hari-hari kerja pertama. Kalangan pakar dan para peneliti menunggu peristiwa ini, negara-negara akan mencapai kesepakatan yang perlu untuk menanggulangi perubahan iklim. Tetapi harapan adalah satu soal, sedangkan bisa atau tidak mencapai target bergantung pada apakah negara-negara bisa mengatasi kepentingan-kepentingan sendiri atau tidak?.