(VOVworld) - Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa - Afrika berlangsung pada Kamis (12 November) di La Valleta (Malta) untuk mendorong penggelaran langkah-langkah menghadapi gelombang migran yang masuk Eropa. Meskipun telah mengeluarkan banyak solusi, tapi pada kenyataanya,Uni Eropa tetap belum mencapai kesepakatan yang perlu untuk menggelarkan sesuatu solusi dalam kenyataan.
Solusi mana untuk kaum migran.(Ilustrasi)
(Foto: imovies.vn).
Konferensi Tingkat Tinggi kali ini berlangsung pada latar belakang 28 negara anggota Uni Eropa beserta negara-negara mitra tidak bisa melaksanakan komitmen tentang pemberian bantuan lebih banyak berupa keuangan dan tempat tinggal kepada kaum migran pada saat rencana relokasi kaum migran terus menghadapi perselisihan antar-negara anggota. Sampai sekarang, negara-negara Uni Eropa baru hanya menyumbangkan dana sebanyak 500 juta Euro diantara total 2,8 miliar Euro yang telah dijanjikan kepada organisasi-organisasi internasional dan dana-dana bantuan untuk kaum migran.
Sementara itu, arus migran yang berduyun-duyun datang ke Eropa tetap meningkat terus-menerus. Menurut data Badan Pengontrolan Perbatasan Uni Eropa, dari awal tahun 2015 sampai sekarang, jumlah migran yang masuk Eropa telah mencapai lebih dari 90 000 orang, meningkat 5 kali lipat terbanding dengan tahun 2014.
Perselisihan dalam Uni Eropa tentang kebijakan terhadap kaum migran
Pada bulan September lalu, 28 negara Uni Eropa telah mencapai permufakatan tentang alokasi kuota tentang penerimaan migran. Namun, semua komitmen tetap baru ada di atas kertas saja. Problematik yang paling besar ialah belum ada mekanisme untuk melaksanakan dan mengontrol arus migran yang masuk ke Eropa.
Sudah diadakan banyak pertemuan, tapi negara-negara Uni Eropa tetap sedang mengalami perpecahan tentang satu solusi bersama terhadap krisis migran. Pada saat negara-negara yang merupakan tempat transit, bersedia membuka pintu untuk menerima kaum migran, tapi kaum migran yang masuk ke Eropa berduyun-duyun menuju ke negara-negara kaya dan punya rezim kesejahteraan sosial dan tunjangan yang baik. Yang tipikal ialah Jerman dan beberapa negeri Eropa Tengah dan Eropa Utara adalah tempat-tempat yang menyerap kedatangan kaum migran. Selama beberapa pekan lalu, ribuan orang pengungsi berupaya keras lewat kawasan Balkan, lewat sungai dan sawah di negara-negara Eropa Tenggara untuk menuju ke arah Utara. Khususnya pada September lalu, ada 250 000 orang yang tiba di Eropa lewat kawasan Balkan dan ketika Hungaria mengalami kelewahan migran, kemudian menutup pintu perbatasan dengan Serbia untuk mencegah arus migran, maka jumlah orang ini berupaya keras menerobos Serbia untuk masuk ke Croatia, lewat Slovakia untuk masuk ke Austria, Jerman atau negara-negara Eropa Utara. Situasi ini membuat Uni Eropa harus mengadakan pertemuan darurat untuk memperketat pengelolaan terhadap perjalanan Balkan untuk mencegah arus orang yang berduyun-duyun datang ke arah Utara. Namun, negara-negara tersebut tetap mengalami perselisihan yang mendalam. Slovenia-negara kecil di kawasan Alpes mengatakan bahwa negara ini harus mendapatkan bantuan lebih banyak karena lewah migran setelah Hungaria menutup pintu perbatasan dengan Slovenia dan Croatia. Hungaria dengan tegas membela kebijakan membangun pagar untuk mencegah arus migran di garis perbatasan dan beranggapan bahwa negara tidak terletak di lini perjalanan Balkan, maka hanya merupakan peninjau. Menurut Hungaria, penyebab krisis ini ialah negara-negara Schengen telah tidak menjaga komitmen-komitmen-nya. Yaitu migran pertama yang menapakkan kaki ke negera Uni Eropa harus mengajukan surat permintaan suaka di negara itu, tapi negara-negara pintu yang menerima kaum migran tidak melaksanakan hal ini, sehingga tidak bisa mengontrol kaum migran. Oleh karena itu, gelombang migran terus berupaya keras untuk melaksanakan perjalanan ke negara-negara di sebelah Utara.
Belum menyatukan aksi.
Jelaslah sampai sekarang, krisis migran di Eropa belum menemukan solusi yang efektif untuk dilaksanakan. Meskipun memakluminya, meskipun bersedia melapangkan lengan tangan untuk menerima migran, tapi bisa dilihat bahwa syarat ekonomi, tarap budaya dan perbedaan-perbedaan tentang agama merupakan masalah-masalah sulit, sehingga membuat negara-negara Eropa mengalami perselisihan yang mendalam dalam krisis migran.
Sebagian besar negara-negara yang menentang menerima kaum migran adalah negara-negara yang sedang menjumpai banyak kesulitan tentang sosial-ekonomi, mengalami bentrokan tentang kebudayaan dan agama. Sebagian besar kaum migran adalah orang Muslim yang datang dari Suriah dan Afrika, pada saat rakyat dan Pemerintah negara-negara Eropa tetap belum bersedia menerima satu komunitas orang Muslim yang besar seperti itu di tengah-tengah masyarakat-nya. Belum termasuk kerusuhan–kerusuhan yang ditimbulkan kaum migran di negara-negara yang menerima mereka. Yang tipikal ialah Jerman-negara yang menerima jumlah migran paling besar yang masuk ke Eropa. Sejak awal tahun 2015 sampai sekarang, negara ini telah menerima lebih dari 500 000 orang migran. Tapi, rakyat negara ini berangsur-angsur menyesalkan keputusan menerima kaum migran setelah terjadi kasus benturan dan bentrokan yang diakibatkan oleh kaum migran. Kecemasan rakyat Jerman terhadap kaum migran barang kali dimanifestasikan secara paling jelas melalui prosentasi pendukung Kanselir Angela Merkel yang turun, hanya menduduki 49 persen jumlah pendukng dalam satu referendum belakangan ini, tarap paling rendah sejak awal tahun ini.
Pada latar belakang itu, orang juga tidak banyak berharap pada satu solusi yang implementatif di Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa-Afrika kali ini. Ada banyak negara yang merasa cemas akan masa depan Uni Eropa ketika menerima kaum migran. Di samping faktor-faktor positif tentang sumber daya manusia, maka akibat-akibat di sekitar masalah migran tetap merupakan masalah yang belum ada pemercahan oleh negara-negara Uni Eropa.