(VOVWORLD) - Kecemasan-kecemasan tentang satu krisis di Timur Tengah sekali lagi timbul setelah Pentagon mengerahkan satu kelompok kapal induk ke wilayah laut di dekat Iran, sedangkan Iran mengancam memulihkan kegiatan mengayakan uranium tingkat tinggi. Jadi, genap satu tahun setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menyatakan menarik diri dari permufakatan nuklir Iran, hubungan AS-Iran semakin menegangkan, hal ini sedang langsung mengancam perdamaian di Timur Tengah.
Langkah-langkah keras yang dijalankan oleh Iran dan AS pada waktu lalu bisa dianggap sebagai “tindakan balas-berbalas”. Kebijakan sanksi yang dikenakan oleh AS terhadap Iran selama satu tahun ini bisa membantu Washington melaksanakan perhitungan licik mengurangi pengaruh dan kekuatan Teheran, namun jelaslah juga diikuti dengan kaitan-kaitan yang tidak diinginkan.
Memberikan balasan yang setimpal
Situasi Teluk mengalami perkembangan yang rumit dalam menghadapi gerak-gerik eskalasi Iran dan AS yang bersangkutan dengan permufakatan internasional tentang masalah nuklir Iran pada tahun 2015 (atau disebut sebagai Rencana Aksi Bersama Komprehensif-JCPOA). Setelah secara sepihak menarik diri dari permufakatan tersebut pada tahun 2018 dengan alasan bahwa permufakatan ini tidak memperketat kegiatan-kegiatan uji coba rudal balastik atau membatasi partisipasi Iran dalam bentrokan-bentrokan di kawasan, AS telah tidak henti-hentinya meningkatkan tekanan terhadap Iran yang kongkritnya ialah memulihkan banyak embargo terhadap Iran, khususnya pertambangan.
Selama satu tahun ini, Teheran telah menderita secara terus-menerus sanksi-sanksi yang dikenakan oleh Washinton, tanpa memperdulikan inspeksi-inspeksi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sampai saat ini menegaskan Iran menaati secara serius semua aturan yang tercantum dalam permufakatan nuklir yang bersejarah. Pada latar belakang itu, ketegangan antara Teheran dan Washington semakin naik ke anak tangga baru yaitu AS mengklasifikasi pasukan Garda Revolusioner Islam Iran ke dalam apa yang dinamakan: "daftar teroris”. Kenyataan ini membuat Iran kehabisan kesabaran. Selain memperingatakan akan memblokade selat Hormuz, jalan laut penting dari dunia, Presiden Iran, Hassan Rouhani, pada Rabu (8 Mei) mengumumkan bahwa setelah 60 hari, Iran akan “mempersempit” pelaksanaan komitmen-komitmen dalam permufakatan nuklir, kongkritnya ialah akan meningkatkan tarap mengayakan uranium. Ini merupakan batas waktu dimana Iran menuntut kepada negara-negara peserta permufakatan nuklir sisanya yaitu Inggris, Tiongkok, Rusia, Perancis dan Jerman supaya melaksanakan komitmen membela minyak tambang dan keuangan Iran terhadap sanksi AS.
Namun, hanya beberapa jam setelah pernyataan Presiden Iran, Hassan Rouhani, Bos Gedung Putih mengeluarkan dekrit mengenakan sanksi terhadap bidang minyak tambang dan logam-dua sumber pendapatan Iran paling besar setelah pertambangan. Washington tidak lupa memperingatkan kepada Teheran akan harus “menderita lebih bayak tindakan” kecuali kalau mengubah tingkah lakunya. Menurut hemat Presiden Donald Trump, ini juga merupakan peringatan kepada negara-negara lain bahwa izin impor logam Iran akan tidak bisa ditenggang.
Selain pernyataan-pernyataan keras tersebut, perkembangan di lapangan juga menimbulkan kecemasan ketika AS menggelarkan kekuatan besar ke kawasan di sekitar Iran. Sekarang, kelompak tempur dari kapal induk USS Abraham Lincoln sedang berada di atas perjalanan menuju ke Timur Tengah, sedangkan angkatan laut AS mengumumkan akan menggelarkan skuadron pesawat terbang B 52 ke kawasan ini. Sementara itu, pasukan garda revolusioner Islam dianggap sedang mengerahkan banyak rudal ke kawasan pantai yang mengarah ke selat Hormuz.
Dunia internasional menyatakan kecemasan.
Saat ketika semua pihak menandatangani permufakatan Iran yang pernah dilihat sebagai peristiwa internasional yang tipikal pada tahun 2015 merupakan sukses yang dicapai oleh semua pihak dalam mengekang Iran mengembangkan senjata nukllir. Dan meski AS menarik diri dari permufakatan pada tahun 2018, tetapi Iran belum sekali pun menyatakan akan melanggar permufakatan ini.
Oleh karena itu, dengan pernyataan Presiden Iran, Hassan Rouhani yang akan mempersempit pelaksanaan komitmen dalam permufakatan nuklir pada Rabu (8 Mei) ini telah membuat negara-negara anggota permufakatan dan opini umum internasional sangat merasa cemas. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres menegaskan bahwa dia selalu menganggap JCPOA sebagai satu sukses besar dalam upaya diplomasi untuk menghentikan proliferasi nuklir dan memberikan sumbangan pada perdamaian dan keamanan di kawasan dan di dunia. Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres sangat berharap akan berhasil menyelamatkan permufakatan ini. Menteri Pertahanan Perancis, Florence Parly menilai bahwa “sekarang tidak ada yang lebih buruk dari pada Iran menarik diri dari permufakatan nuklir”. Dia memberitahukan bahwa Perancis, Inggris dan Jerman - negara-negara yang menandatangani JCPOA sedang berupaya sekuat tenaga menjaga permufakatan nuklir dengan cara mengeluarkan gagasan membantu perekonomian Iran tanpa memperdulikan sangksi-sanksi yang dikenakan oleh AS. Sementara itu, Tiongkok menganggap bahwa mempertahankan dan melaksanakan permufakatan nuklir komprehensif ini merupakan tanggung jawab dari semua pihak. Beijing juga “menentang keras” sanksi-sanksi yang dikenakan secara sepihak oleh AS terhadap Iran.
Runtuhnya permufakatan nuklir tahun 2015 antara Iran dan kelompok P5+1 (yaitu Inggeris, Perancis, AS, Rusia, Tongkok plus Jerman) merupakan bahaya terhadap Iran dan seluruh dunia. Jika AS terus meningkatkan tekanan terhadap Iran seperti pernyataan dari beberapa pejabat AS, ada banyak kemungkinan yang akan menimbulkan pengaruh balik. Waktu itu, runtuhnya permufakatan nuklir Iran tidak berhenti pada kata “bahaya”.