(VOVworld) – Beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump memerintahkan menyerang bandara militer di Suriah dengan rudal jelajah Tomahawk, tentara AS juga mulai melakukan beberapa gerak-gerik militer terhadap Republik Demokasi Rakyat Korea (RDRK). Ini dianggap sebagai peringatan dari Washington terhadap Pyong Yang yang terus menjalankan pengembangan senjata nuklir. Gerak-gerik AS membangkitkan kecemasan di kalangan komunitas internasional mengenai kemungkinan terjadinya bentrokan di laut atau di udara antara AS dan RDRK.
Kapal induk AS di dekat semenanjung Korea
(Foto : Kantor berita Vietnam)
Alasan mengapa AS mengerahkan armada kapal induk ke semenanjung Korea karena Pyong Yang secara terus-menerus dan terbuka melakukan uji coba rudal dan nuklir pada waktu belakangan ini. Ketika Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe melakukan pertemuan dengan Presiden AS, Donald Trump pada 12 Februari lalu, RDRK menembakkan serentetan rudal, di antaranya ada banyak peluru yang jatuh ke zona ekonomi eksklusif milik Jepang.
Sebelum Presiden Xi Jinping menemui Presiden AS, Donald Trump, RDRK telah juga meluncurkan uji coba rudal pada 5 April. Oleh karena itu, Presiden Donald Trump mengerahkan serenteran armada kapal, di antaranya ada juga kapal induk ke semenanjung Korea.
Berturut-turut mengerahkan kapal tempur ke kawasan semenanjung Korea
AS sedang memanifestasikan sikap keras dalam kebijakan-nya terhadap RDRK. Angkatan Laut AS, pada 8/4, telah mengirim satu kelompok kapal tempur yang dipimpin oleh kapal induk ke semenanjung Korea. Juribicara Markas Komando Pasifik dari AS (USPC), Mayor Kepala Dave Benham memberitahukan bahwa ini merupakan satu langkah hati-hati untuk mempertahankan keberadaan dan kesiapan AS di Pasifik Barat pada latar belakang, RDRK terus menjadi ancaman dalam kawasan dan karena semua uji coba rudal yang dilakukan negara ini menimbulkan instabilitas dan tindakan-tindakan yang terus menjalankan kemampuan tentang senjata nuklir dari Pyong Yang.
Ketika menghadapi kemungkinan RDRK akan melakukan uji coba nuklir pada 15/4 nanti (sehubungan dengan perinagatan ultah ke-105 hari Lahirnya Almarhum Pemimpin Kim Ill Sung), Angkatan Udara AS telah mengirim pesawat “pemburu nuklir” WC-135 Constant Phoenix ke pangkalan Angkatan Udara Kadena (propinsi Okinawa). WC-135 merupakan pesawat terbang spesialis untuk menemukan radioaktif, mengumpulkan sampel di udara dan kepingan pasca ledakan- ledakan nuklir.
Bersamaan dengan semua gerak-gerik mengerahkan kapal induk dan kapal tempur ke semenanjung Korea, pendirian Washington yang ditegaskan secara jelas oleh pemimpin Gedung Putih di medsos Twitter pada Selasa (11 April) bahwa Washington siap memecahkan sendiri “masalah Korea”. Sekretaris Pers Gedung Putih, Sean Spicer tidak mengecualikan kemungkinan langkah-langkah militer digelarkan sebagai satu “deterensi” terhadap gerak-gerik Pyong Yang yang meningkatkan aktivitas peluncuran rudal atau uji coba nuklir.
Ketika memberikan reaksi kepada gerak-gerik AS tersebut, Pyong Yang menyatakan akan bersedia menghadapi situasi pernag. RDRK menamakan gerak-gerik mengerahkan kapal induk AS sebagai “tindakan provokatif” dan memperingatkan akan “menggunakan senjata-senjata ampuh” untuk membela Tanah Air. Media Negara Korea, pada Selasa (11 April) bahkan menyatakan bahwa negara akan melakukan satu serangan nuklir terhadap AS jika ada sesuatu tanda tentang provokasi; tentara RDRK sedang mengikuti secara ketat semua gerak-gerik dari lawan-nya dan kekuatan nuklir RDRK berfokus pada pangkalan-pangkalan AS baik di Republik Korea dan Pasifik maupun di benua Amerika.
Apakah bentrokan mungkin terjadi?
Meski serangan terhadap Suriah adalah satu peringatan tidak langsung terhadap Pyong Yang supaya jangan melampaui batas merah, tetapi pada kenyataannya, akan sulit ada serangan AS terhadap RDRK seperti serangan terhadap Suriah. Menurut kalangan analis, RDRK bukanlah Irak pada tahun 2003 dan juga bukanlah Suriah sekarang ini. Jika kepala panas di Gedung Putih dan Pentagon “menyalakan lampu hijau” bagi bentrokan, memojokkan Pemerintah Pyong Yang ke kaki tembok, maka Kim Jong-un mungkin akan menggunakan senjata nuklir. Oleh karena itu, kalangan otoritas AS pasti akan harus mempertimbangkannya untuk menghindari terjadinya bentrokan.
Selain itu, AS juga memperhitungkan reaksi dari opini umum dari dunia internasional. Dalam pembicaraan telepon tentang situasi RDRK dengan Presiden AS, Donald Trump, pada Rabu (12 April), Presiden Tiongkok, Xi Jin-ping menunjukkan secara jelas bahwa Tiongkok konsisten menjalankan perdamaian dan kestabilan di semenanjung Korea, menurut itu menekankan bahwa ketegangan di semenanjung ini harus dipecahkan dengan langkah-langkah damai. Bahkan Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, pada Minggu (9 April) juga membuka pintu perdamaian ketika menyatakan bahwa negara ini mungkin berfikir tentang diadakannya kembali perundingan jika Pyong Yang menghentikan tindakan-tindakan uji coba rudal dan nuklir. Tujuan AS ialah denuklirisasi semenanjung Korea, jadi bukan mengubah kekuasaan Pyong Yang.
Hubungan antara AS dan RDRK semakin menegangkan setelah dua pihak mengeluarkan gerak-gerik meningkatkan kemungkinan terjadinya bentrokan di laut atau di udara. Namun, opini umum tetap berharap supaya AS dan RDRK tidak melampaui batas merah, menghindari satu bentrokan bersenjata dengan faktor nuklir.