(VOVWORLD) - Seperti yang dikhawatirkan oleh kalangan analis, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 telah berakhir pada Selasa (27/9), di Perancis, tapi tidak mencapai banyak hasil yang menggembirakan. Perbedaan pandangan antara negara-negara anggota G7 dalam isi-isi penting yang dibahas telah membuat KTT ini tidak bisa mencapai kesepakatan terobosan manapun. Bukan hanya begitu saja, semua perbahasan di KTT ini juga menunjukkan perpecahan yang mendalam antara negara-negara.
Para pemimpin negara-negara G7 dan wakil dari Uni Eropa pada konferensi di Kota Biarritz, Perancis, 25/8/2019 (Foto: AFP/ VNA) |
Dengan tema yang bersifat mencakup ialah mencegah ketidakadilan, semua masalah panas di dunia telah dibahas di KTT G7 kali ini, dari kebakaran serius yang sedang merusak “paru-paru” bumi – hutan Amazon, sampai bahaya-bahaya merosot-nya perekonomian global karena ketegangan dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok; dari masalah nuklir Iran dan ketegangan di Teluk sampai pengenaan tarif terhadap grup-grup teknologi besar dan sebagainya.
Perpecahan yang mendalam
Membahas masalah-masalah besar dan bersifat vital dalam kehidupan politik internasional juga berarti menyentuh kepentingan nasional, oleh karena itu G7 telah menunjukkan perbedaan pandangan dan perpecahan yang semakin besar antara negara-negara anggota-nya. Pernyataan pendek yang tebalnya 1 halaman setelah KTT ini berakhir menunjukkan bahwa tidak mencapai banyak kesepakatan, atau mencapai tapi hanya berjalan dalam pandangan bersama saja, tidak menyinggung rincian-rincian terhadap masalah-masalah yang menjadi perhatian dari negara-negara G7.
Ketika meninjau hasil nyata KTT ini, G7 telah tidak bisa mengeluarkan solusi terhadap masalah mencegah ketidakadilan, meskipun ini merupakan isi prioritas utama dalam tahun Keketuaan G7 dari Perancis. Paris tidak bisa menggerakkan negara-negara maju untuk memikul tanggung jawab dalam membantu negara-negara paling miskin, yang tipikal di negara-negara di kawasan Sahel, Afrika, menghadapi tantangan-tantangan yaitu ketidakadilan.
Meskipun menyatakan membantu usaha menanggulangi kebakaran hutan Amazon, tapi negara-negara G7 tidak mengeluarkan komitmen “mengurangi secara serius” emisi gas rumah kaca. Yang patut diperhatikan ialah Presiden AS, Donald Trump tidak menghadiri sesi perbahasan penting tentang iklim.
Tanpa memperdulikan kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Iran, Mohammad Javad Zarif di Perancis untuk bertemu dengan kalangan otoritas Perancis dan penasehat diplomatik Jerman dan Inggris di sela-sela KTT ini, negara-negara G7 juga tidak berhasil menurunkan suhu ketegangan antara AS dan Iran ketika para pemimpin kelompok ini tidak menyepakati satu rencana aksi bersama tentang masalah nuklir Iran, tidak memberikan solusi untuk situasi macet antara AS dan Uni Eropa yang bersangkutan dengan cara pendekatan yang berbeda-beda dalam masalah ini. Selain itu, para pemimpin G7 juga tidak bisa mencapai kemajuan dalam meyakinkan Boss Gedung Putih memperpanjang status bebas sanksi terhadap minyak tambang dalam aktivitas perdagangan produk ini dari Iran.
Ekonomi dan perdagangan merupakan bidang-bidang yang mudah mencapai kebulatan pendapat antara para pemimpin G7, tapi sekarang ini muncul banyak persesilihan. Dalam rangka KTT G7, Presiden AS, Donald Trump harus menghadapi tekanan dari para pemimpin lainnya tentang eskalasi perang dagang yang sedang terjadi dengan Tiongkok. Pada saat negara-negara lain mengusulkan untuk “mengurangi ketegangan” dengan Beijing, pihak AS menyampaikan pesan bahwa hal satu-satunya yang disesalkan Boss Gedung Putih ialah telah tidak mengenakan tarif yang lebih tinggi terhadap bermacam jenis barang dagangan Tiongkok.
Itu belum dibicarakan tentang rekomendasi Presiden Donald Trump untuk akan mengundang Presiden Rusia, Vladimir Putin menghadiri KTT G7 pada tahun 2020, tempat dimana AS menjadi negara tuan rumah. Ini sudah menjadi masalah sensitif terhadap negara-negara Uni Eropa, yang selalu menganggap bahwa partisipasi kembali dari Rusia dalam kelompok negara-negara industri ini harus berkaitan dengan prospek dalam menangani krisis di Ukraina Timur. Perselisihan antara Presiden AS dan para sekutu Eropa semakin jelas ketika Presiden Donald Trump sepenuhnya mendukung Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, orang yang sedang menunjukkan sikap keras terhadap Uni Eropa tentang permufakatan Brexit dengan janji bahwa akan menandatangani satu “permufakatan dagang raksasa” dengan Inggris.
Titk-titik cerah yang sedikit
Perselisihan-perselihan telah menyelubungi KTT G7 tahun ini, tapi bukanlah tidak ada sinar-sinar harapan. Untuk mengakhiri KTT G7, pemimpin G7 telah mengeluarkan pernyataan pendek, yang menunjukkan kebulatan pendapat yang sedikit tentang cepat mengucurkan modal senilai 20 juta USD untuk turut memadamkan kebakaran hutan Amazon, serta menyepakati rencana pemberian bantuan dalam menghijauan kembali kehutanan di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tentang situasi Ukraina, para pemimpin G7 mendukung Perancis dan Jerman mengadakan KTT Kelompok Kuartet Normandia pada waktu mendatang untuk “mencapai hasil yang konkret”. Di bidang ekonomi, mereka mendukung “perdagangan global yang terbuka dan adil dan kestabilan perekonomian dunia”. Selain itu, dialog-dialog bilateral juga turut meredakan ketegangan dalam internal G7, misalnya Perancis dan AS telah mencapai permufakatan tentang pengenaan tarif terhadap grup-grup teknologi besar, atau AS dan Jepang mencapai kesepakatan secara prinsipil tentang faktor-faktor poros dalam satu permufakatan dagang.
Didirikan oleh negara-negara kapitalis Barat pada tahun 1975 guna menghadapi krisis energi, G7 selama bertahun-tahun ini dianggap sebagai contoh tipikal dari kemakmuran dan manajemen modern. Akan tetapi, G7 sendirinya sekarang ini tidak punya cukup pengaruh serta wakil sebaik-baiknya dari nilai-nilai yang pernah ia puji. Dan hasil tidak seberapa yang dicapai di KTT G7 yang baru saja berakhir di Perancis sekali lagi menunjukkan bahwa G7 sedang sulit mengusahakan suara bersama dalam masalah-masalah global sekarang ini.