(VOVWORLD) - Ketegangan situasi Libia meningkat beberapa hari belakangan ini. Sejak gejolak politik untuk menggulingkan pemimpin Moamer Gadhafi, negara Afrika ini selama 9 tahun ini tenggelam dalam perpecahan antar-faksi dengan dukungan dari pasukan-pasukan dari luar. Suatu solusi perdamaian untuk Libia diupayakan berkali-kali dalam berbagai perundingan, tetapi mungkin masih lama lagi, warga Libia bisa hidup dalam perdamaian dan memiliki Tanah Air.
Turki berkomitmen bahu membahu dengan Pemerintah Persatuan Nasional Libia di Tripoli (Foto: Anadolu) |
Libia jatuh ke dalam situasi perpecahan politik dan eskalasi kekerasan sejak gejolak politik di tahun 2011 dalam penggulingan pemimpin Moamer Gadhafi yang dilakukan Barat. Apa yang berlangsung selama 9 tahun belakangan ini menunjukkan bahwa tank dan meriam bukan solusi untuk krisis Libia.
Ketegangan karena faktor dari luar
Di Libia sekarang ada 2 pemerintahan secara bersamaan dengan dukungan pasukan-pasukan bersenjata. Pemerintah Persatuan Nasional Libia (GNA) dengan dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan kelompok-kelompok bersenjata Turki dengan dukungan pemerintah Turki yang sedang beraktivitas di Tripoli, Ibukota Libia. Sementara itu, pasukan yang menamakan diri sebagai Tentara Nasional Libia (LNA) mendukung pemerintah di bagian timur, dan mendapat dukungan dari Uni Emirat Arab, Rusia, dan Mesir. Kekerasan meningkat sejak April 2019 ketika Jenderal Haftar memulai operasi militer untuk merebut kontrol terhadap Kota Tripoli dari GNA. Dan sampai Juli 2020, ketegangan bereskalasi lebih dari sebelumnya ketika bahaya konfrontasi militer antara Turki dan Mesir di Libia semakin tampak jelas.
Sekarang, GNA dengan dukungan Ankara sedang memperluas kontrolnya di hampir semua kawasan Libia bagian barat laut yang diduduki LNA sebelumnya. Bersamaan itu GNA mematahkan serangan yang dilakukan LNA untuk menduduki Kota Tripoli. GNA juga menyatakan akan menyerang dan merebut kembali hak kontrol terhadap Sirte (yaitu pintu gerbang masuk ke tambang-tambang minyak di Libia bagian timur) dan pangkalan angkatan udara Jufra. Sebelumnya, Turki telah mengirim ribuan serdadu dari Suriah ke Libia untuk membantu GNA. Tindakan ini dianggap sebagai “setetes air membuat air tumpah dari cangkir”, sehingga membuat Kairo sangat prihatin. Presiden Mesir, Abdel-Fattah El-Sisi telah memperingatkan bahwa Kairo punya hak yang sah dalam mengintervensi situasi Libia, bersamaan itu menekankan bahwa Sirte dan Al-Jufra adalah “garis perbatasan merah” bagi keamanan nasional Mesir.
Dan pada 20 Juli lalu, Parlemen Mesir telah sepakat mengesahkan pemberian hak kepada Presiden untuk memobilisasi pasukan-pasukan bersenjata negara ini untuk melaksanakan tugas-tugas taktis di luar perbatasan guna membela keamanan nasional Mesir, Libia, dan seluruh kawasan, khususnya menjamin keamanan kawasan perbatasan di bagian barat negara ini, sekaligus memulihkan stabilitas di Libia.
Sementara itu, Dewan Keamanan Nasional Turki (MGK) menegaskan kembali tekad untuk mendukung GNA di Tripoli, berkomitmen “bahu membahu dengan rakyat Libia, menentang semua tindakan kekerasan” dan Turki “akan tidak ragu-ragu menggelar langkah-langkah yang perlu”. Pernyataan Turki tersebut nampaknya membuka kesempatan terjadinya konfrontasi langsung dengan Mesir”.
Mengimbau untuk menurunkan suhu ketegangan
Bentrokan di Libia jelaslah semakin menjadi lebih serius dengan intervensi dari pasukan-pasukan dari luar. Atas hal tersebut, wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menghubungi pihak-pihak terkait karena pesan konsekuen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk semua pihak di Libia, termasuk di dalam dan luar negeri, bahwa tidak ada solusi militer terhadap krisis Libia, dan tidak ada pilihan lainnya kecuali solusi politik.
Pasukan pendukung Pemerintah dengan dukungan PBB di Qasr bin Ghashir, Tripoli Selatan, Libia , 4/6/2020 (Foto: Xinhua / VNA) |
Sementara itu, untuk pertama kalinya tiga negara Eropa, yaitu Jerman, Perancis, Italia mengancam akan mengenakan sanksi terhadap pihak-pihak terkait di Libia jika tindakan-tindakan pelanggaran terhadap perintah embargo di laut, di darat, atau di udara terus berlangsung. Para pemimpin Jerman, Perancis, dan Italia mengimbau kepada semua pihak terkait di Libia beserta pasukan-pasukan pendukung dari luar supaya menghentikan baku tembak dan menghentikan eskalasi militer sekarang ini.
Rusia mengimbau supaya “segera melakukan gencatan senjata dan menghentikan semua aktivitas baku hantam di Libia” guna mengawali satu dialog politik nasional guna menghentikan krisis.
Selama 9 tahun ini, situasi Libia masih kacau balau dan tidak ada jalan ke luar. Ketegangan semakin meningkat pada hari-hari di bulan Juli ini. Meskipun semua pihak menegaskan bahwa satu solusi damai adalah suatu hal yang perlu untuk menangani bentrokan di Libia, namun warga masih harus menunggu lama, sehingga para faksi dan pasukan pendukung dari luar masih tetap mengejar kepentingannya sendiri.