(VOVworld) - Ketegangan di gelanggang politik Mesir sedang memasuki satu periode baru setelah keputusan Mahkamah Konstitusi Tertinggi tentang pembubaran Parlemen dan pencegahan dekrit Presiden untuk memulihkan Parlemen. Perkembangan-perkembangan ini membuka jalan bagi satu konfrontasi yang menegangkan antara Presiden sipil yang baru saja dipilih, Mohamed Morsy dengan tentara Mesir, yang selama ini tetap memegang kekuasaan di gelanggang politik.
Sidang parlemen Mesir pada 10 Juli lalu
(Foto: dantri.com.vn)
Tidak di luar prediksi, setelah pemilihan presiden yang bersejarah, gelanggang politik Mesir tetap jauh terperangkap ke dalam putaran perebutan kekuasaan. Segera setelah dekrit Presiden baru Mohamed Morsy tentang pemulihan Parlemen yang pernah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Tertinggi pada 8 Juli, opini umum Mesir telah memberikan reaksi-reaksi yang simpang-siur. Pada saat tentara dan Mahkamah Konstitusi Tertinggi menyatakan bahwa semua keputusan dari Mahkamah ini harus dihormati, tapi pemerintah pimpinan Presiden Mohamed Morsy menegaskan bahwa dekrit tentang pemulihan Parlemen sepenuhnya berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Dasar. Gerak-gerik yang dilakukan Presiden Morsy, seorang anggota Gerakan Ikhwanul Muslimin, sudah hampir pasti akan menimbulkan kontradiksi dengan kalangan perwira tinggi militer yang penuh kekuasaan.
Pada 10 Juli, Mahkamah Konstitusi Tertinggi Mesir telah menghentikan dekrit yang dikeluarkan Presiden Mohamed Morsy dan menyatakan bahwa keputusan dari Mahkamah sebelumnya, yang menganggap pemilu parlemen adalah melanggar Undang-Undang Dasar dan membubarkan parlemen harus dilaksanakan. Sebelumnya, pada 8 Juli, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata negara ini, yang menyerahkan kekuasaan kepada presiden Mohamed Morsy dari Gerakan Ikhwanul Muslimin pada bulan lalu telah melakukan sidang darurat untuk membahas dekrit tentang pemulihan parlemen yang dibubarkan sebelumnya. Sidang ini dipimpin oleh Marsekal Hussein Tantawi, pemimpin Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata yang menyelenggarakan Mesir setelah Mantan Presiden Hosni Mubarak digulingkan pada tahun 2011, bertujuan “meneliti dan membahas pengaruh dari keputusan tentang pemulihan parlemen yang dikeluarkan Presiden Mohamed Morsy”.
Demonstrasi mendukung dekrit Presiden Morsy di depan Gedung Mahmakah Konstitusi Tertinggi
(Foto: toquoc.vn)
Sementara itu, dalam satu gerak gerik yang bersifat menentang Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, pada 10 Juli, parlemen Mesir telah mengadakan satu sidang. Pernyataan pembukaan sidang ini langsung ditayangkan televisi di seluruh negeri, di mana Ketua Parlemen Saad al-Katatni mengatakan bahwa sidang ini bertujuan “meninjau keputusan-keputusan dari Mahkamah Konstitusi Tertinggi”. Opini umum beranggapan bahwa semua kontradiksi tersebut sedang meningkatkan ketegangan antara Presiden Mohamed Morsy, Mahkamah Konstitusi Tertinggi dan Dewan Tertinggi Angkatan-Angkatan Bersenjata. Mengenai perkembangan-perkembangan baru di gelanggang politik Mesir, pada 10 Juli, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton telah harus mengimbau kepada semua pihak supaya melakukan dialog untuk menghentikan situasi krisis.
Menurut dekrit yang dikeluarkan Presiden Mohamed Morsy pada 8 Juli, Parlemen akan dipulihkan sampai berhasil memilih satu parlemen baru. Ali, Jurubicara Presiden Mohamed Morsy memberitahukan bahwa dekrit tentang pemulihan aktivitas parlemen tidak melanggar serta tidak bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstutisi Tertinggi, bersamaan itu menekankan bahwa keputusan Presiden Morsy berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Dasar. Menurut itu, pemilihan umum parlemen yang lebih awal akan diadakan dalam waktu 60 hari setelah Undang-Undang Dasar baru diesahkan dalam satu referendum.
Presiden baru Mesir Mohamed Morsy
(Foto: voatiengviet.com)
Dekrit ini dianggap membalikkan keputusan tentang pembubaran Parlemen yang dikeluarkan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata pada bulan lalu menurut satu keputusan Mahkamah Konstitusi Tertinggi. Pada 14 Juni, Mahkamah tersebut telah memutuskan bahwa satu diantara tiga jumlah kursi parlemen yang dipilih pada tahun ini tidak sah, bersamaan itu Undang-Undang tentang Isolasi Politik yang melarang para pejabat rezim lama mengikuti aktivitas politik adalah melanggar Undang-Undang Dasar. Pada 15 Juni, hanya sehari sebelum berlangsung putaran ke-2 pemilu presiden di Mesir, Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata telah memutuskan membubarkan parlemen menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Tertinggi. Dalam pemilu parlemen pada awal tahun ini, Partai Keadilan dan Perkembangan (FJP) dari Organisasi Ikhwanul Muslimin berhasil merebut 235 kursi diantara 508 kursi, sama dengan 47,18% jumlah kursi di Majelis Rendah.
Masalahnya di sini ialah, kontradiksi antara tentara dan Organisasi Ikhwanul Muslimin. Perihal Mohamed Morsy terpilih menjadi Presiden baru Mesir telah menandai satu titik balik dalam proses menuju ke satu demokrasi di negara Piramida ini sejak Presiden Hosni Mubarak digulingkan. Kemenangan Morsi telah membuat Organisasi Ikhwanul Muslimin memegang kekuasaan setelah 84 tahun sejak didirikan. Akan tetapi, justru hal ini telah membuka satu perang perebutan kekuasaan antara Organisasi Ikhwanul Muslimin dimana Morsy adalah wakilnya dengan kalangan militer yang selama ini sudah memegang kekuasaan di negara Afrika Utara ini.
Demonstrasi besar-besaran di Mesir tetap terjadi di Mesir
(Foto: voatiengviet.com)
Presiden baru memberlakukan dekrit pemulihan parlemen, yang mayoritas kursinya direbut Organisasi Ikhwanul Muslimin, merupakan peristiwa pertama yang menimbulkan kontradiksi tersebut. Menurut kalangan pengamat, tindakan yang dilakukan Morsi bertujuan melaksanakan target merebut kekuasaan dari tentara. Pemulihan aktivitas parlemen juga bertujuan memperluas hak-hak presiden terhadap kebijakan-kebijakan penting Tanah Air. Karena ketika parlemen dibubarkan, sengketa tentang pembagian kekuasaan antara tentara dan Organisasi Ikhwanul Muslimin telah meningkat. Hal ini justru telah membuat kemenangan yang dicapai Mohamed Morsy kehilangan banyak makna.
Mengenai perkembangan-perkembangan di gelanggang politik Mesir, opini umum menganggap bahwa negara ini akan memasukki krisis politik baru. Kontradiksi antara pemerintah sekarang dan kalangan militer sulit mencapai titik henti dalam masa yang dekat./.