(VOVWORLD) - Para pemimpin kelompok tujuh negara industri maju (G7), pada Sabtu (20/2), mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) secara virtual. Ini merupakan KTT G7 pertama yang diadakan sejak April 2020, sekaligus event internasional besar yang pertama dengan partisipasi Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden. Berlangsung pada situasi pandemi Covid-19 yang terus menyebar luas dan menimbulkan dampak serius di seluruh dunia, KTT G7 kali ini mengundang harapan besar, di samping juga harus menghadapi tantangan-tantangan besar.
Presiden AS, Joe Biden (Foto: AFp / VNA) |
Menurut para analis, misi sekaligus tantangan terbesar bagi KTT G7 adalah perang melawan pandemi Covid-19 yang tengah merajalela di seluruh dunia, dan upaya memulihkan perekonomian dunia yang tengah terdampak serius akibat pandemi itu.
Misi
Sepekan sebelum event KTT G7, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan bahwa event ini merupakan kesempatan bagi Presiden Joe Biden untuk bersama para pemimpin G7 membahas rencana-rencana menghadapi pandemi Covid-19 dan merekonstruksikan ekonomi dunia yang tengah terkena dampak serius oleh pandemi ini. Dengan demikian, Presiden Joe Biden fokus pada topik-topik pembahasan seperti cara dunia menghadapi aktivitas produksi dan distribusi vaksin Covid-19, mempertahankan upaya-upaya kerja sama untuk menekan ancaman wabah-wabah penyakit menular melalui upaya membangun kapasitas nasional dan membentuk dana keamanan kesehatan preventif. Bersamaan itu, pemimpin AS juga bersama para pemimpin G7 membahas kebijakan ekonomi, antara lain memacu negara-negara anggotanya dan semua negara industri mempertahankan bantuan untuk memulihkan ekonomi, dan mengeluarkan langkah-langkah bersama yang lain.
Di pihaknya, Perdana Menteri Inggris, Boris Jonhson, Ketua KTT G7 tahun 2021 menekankan bahwa solusi-solusi bagi tantangan-tantangan yang mungkin harus dunia hadapi semuanya berada dalam agenda, dari misi pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 di semua negara, hingga perang menangkal ancaman-ancaman terhadap ekosistem, dan pemulihan yang berkelanjutan pasca Covid-19. Perdana Menteri Inggris mengimbau G7 agar mengusahakan cara pendekatan global terhadap pandemi, seperti membuat satu sistem peringatan lebih awal, guna menghentikan “nasionalisme dan perpecahan politik” yang sudah menyabot upaya-upaya awal dalam mencegah pandemi Covid-19. Di samping itu, Perdana Menteri Boris Johnson juga ingin memanfaatkan peran Ketua G7 untuk mendorong kesepakatan dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi menurut arah yang berkelanjutan dan perdagangan bebas.
PM Inggris, Boris Johnson (Foto: Reuters) |
Sebelumnya, pada rapat yang berlangsung pada 12/2, para pejabat keuangan G7 juga membahas langkah-langkah memperkuat kerja sama untuk menangani kesulitan-kesulitan ekonomi yang ditimbulkan pandemi Covid-19. Setelah rapat tersebut, Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso menyatakan bahwa para pemimpin keuangan G7 sudah melakukan pembahasan tentang pilar-pilar dalam kebijakan ekonomi makro untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19, serta membantu negara-negara dengan pendapatan rendah, termasuk langkah-langkah mengurangi utang.
Tekanan dan Tantangan
Guna melaksanakan misi yang dianggap bersejarah sekarang ini, G7 memerlukan banyak upaya, di antaranya persatuan dan kesepakatan aksi antara para anggotanya dinilai paling penting. Namun dalam kenyataannya, G7 tengah mengalami perpecahan dalam orientasi aksi yang cukup memprihatinkan. Kantor Berita “Bloomberg” (AS) baru-baru ini mengutip beberapa sumber berita dari kalangan diplomat yang memberitakan bahwa Pemerintah Perdana Menteri Jepang, Suga Yoshihide, telah “memberikan reaksi keras” terhadap inisiatif Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, untuk lebih memperkuat peran negara-negara undangan terhadap forum G7. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson pernah mengundang Republik Korea, India, dan Australia menghadiri KTT G7 di Cornwall (Inggris) pada Juni 2020. Mengundang partisipasi dari negara-negara lain sudah menjadi kebiasaan bagi negara-negara tuan rumah forum, tetapi peran dan kontribusi dari negara-negara undangan dalam forum tetap dibatasi secara signifikan. Oleh karena itu, dalam satu rapat G7 yang berlangsung secara virtual pada 22/1/2021, Pemerintah Inggris memberitahukan tengah berencana mengikutsertakan tiga negara dalam beberapa rapat tingkat Menteri Luar Negeri, dan bersama menandatangani “Piagam Komunitas Terbuka” dengan negara-negara anggota G7.
Pemerintah Jepang menganggap bahwa target KTT tahun ini adalah merekonstruksikan blok G7, bukan untuk “melakukan institusionalisasi” terhadap hubungan dengan negara-negara undangan. Para anggota Eropa yang lain seperti Perancis, Italia, dan Jerman juga menyatakan pandangan senada dengan Jepang. Beberapa diplomat G7 merasa khawatir bahwa Inggris tengah berusaha “berjalan di pintu belakang” untuk “menetapkan” kembali blok G7. Khususnya, kalangan diplomat Eropa memperingatkan bahwa tindakan Inggris bisa memojokkan G7 jatuh ke dalam situasi konfrontasi dengan Tiongkok serta negara-negara lain, hal yang dihindari negara-negara G7 setelah berupaya mencegah Presiden AS, Donald Trump, melakukan hal serupa.