(VOVWORLD) - Seperti yang dicemaskan oleh kalangan analis, ketegangan yang merebak di pertengahan Agustus di kawasan laut di Laut Tengah sebelah Timur antara Yunani dan Turki, dua negara yang memiliki tidak sedikit problematik atas beberapa masalah sejarah terus mengalami perkembangan yang mencemaskan dan menghadapi bahaya berubah menjadi satu krisis yang serius di kawasan.
Kapal perang Yunani melakukan latihan perang bersama dengan Perancis di Laut Tengah (Foto: Reuters-Kemhan Yunani) |
Perang mulut antara dua negara anggota NATO merebak setelah peristiwa kapal perusak Limnos dari Yunani dan kapal survei Oruc Reis dari Turki pada tanggal 12 Agustus terjadi benturan di kawasan Laut Tengah Timur yang diklaim hak yurisdiksi kedua negara. Turki telah memberikan reaksi sangat keras terhadap kasus ini dan menganggap ini sebagai satu tindakan provokatif yang dilakukan Yunani. Ketegangan tidak henti-hentinya meningkat dan sampai pada puncaknya ketika kedua negara ini melakukan latihan-latihan perang sendirian dengan para mitranya di Laut Tengah selama hari-hari akhir Agustus sehingga menimbulkan kecemasan yang mendalam di kalangan komunitas internasional.
Eropa dan NATO penuh gairah memberikan reaksi
Agar supaya masalah ini tidak mengalami eskalasi sampai di luar kontrol, sudah sejak pada hari-hari pertama terjadinya benturan ini, Amerika Serikat (AS) dan Eropa telah segera melakukan langkah-langkah kuat. Pada 14 Agustus, Uni Eropa telah mengadakan konferensi darurat Menteri Luar Negeri negara-negara anggotanya untuk membahas langkah menghadapinya. Konferensi ini sepakat menyatakan bahwa semua gerak-gerik mengerahkan angkatan laut yang dilakukan oleh Turki akan “mendatangkan situasi antagonis dan kecurigaan yang lebih serius”. Pada hari yang sama, Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Perancis, Manuel Macron telah melakukan pembicaraan telepon, menunjukkan kecemasannya tentang perkembangan-perkembangan yang menegangkan antara dua negara anggota NATO.
Hingga 28 Agustus, Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stolltenberg telah melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengimbau kepada Turki dan Yunani supaya mengurangi eskalasi ketegangan, memecahkan sengketa dengan semangat persatuan dan berdasarkan hukum internasional. Sehari menjelang pembicaraan telepon ini, Sekjen NATO juga menyatakan bahwa blok ini sedang mempertimbangkan langkah-langkah menghindari bahaya bentrokan untuk mencegah insiden-insiden angkatan laut di kawasan yang semakin memanas ini
.
Sementara itu, selaku Ketua Bergilir Uni Eropa, Jerman juga melaksanakan banyak upaya untuk memecahkan ketegangan. Yang patut dibicarakan dalam upaya-upaya ini ialah Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas telah terus-menerus melakukan kunjungan ke Atena dan Ankara dengan peranan sebagai mediator untuk menurunkan suhu ketegangan antara dua negara sekutu anggota NATO ini.
Khususnya, tidak berhenti di imbauan-imbauan kerujukan, Uni Eropa juga menunjukkan satu sikap yang sangat keras terhadap kasus ini. Menurut itu, Wakil Senior Uni Eropa urusan Kebijakan Keamanan dan Diplomatik, Josep Borrell menyatakan bahwa Uni Eropa akan membahas langkah-langkah sanksi terhadap Turki di Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa yang direncanakan akan diadakan pada tanggal 24 September mendatang.
Persaingan multilateral yang sangat rumit tentang sumber daya alam
Menurut kalangan analis, ketegangan di Laut Tengah selama hari-hari ini mendapat perhatian dari opini umum internasional karena dalam kenyataannya, masalah ini bersangkutan dengan banyak negara di kawadan dan dunia, jadi tidak hanya bagi Yunani dan Turki saja.
Satu penelitian pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Survei Geologi AS menunjukkan bahwa di kawsan Levant Basin di Laut Tengah Timur, deposit minyak kasar dan gas bakar alam yang belum dieksploitasikan sangat besar, diprakirakan mencapai sekitar 3.500 miliar meter kubik gas bakar alam dan 1,7 miliar barel minyak kasar. Sumber daya alam yang raksasa itu membuat persaingan antara pihak-pihak semakin menjadi lebih sengit. Hingga saat ini, yang ikut serta dalam upaya-upaya mengeksploitasi sumber daya alam di Laut Tengah Timur, selain Yunani dan Turki juga ada serentetan negara lain seperti Mesir, Siprus, Israel dan sebagainya. Di antaranya, 4 negara yaitu Yunani, Siprus, Mesir dan Israel memperkuat kerjasama satu sama lain, sedangkan, Turki berdiri sendirian di satu front peperangan.
Kenyataan ini membuat Ankara memutuskan mengubah situasi dengan menggunakan politik “diplomasi kapal perang”, mengerahkan kapal survei Oruc Reis dan berbagai kapal pengawal ke Laut Tengah di Timur pada tanggal 10 Agustus dan mengakibatkan terjadi benturan dengan kapal perusak Yunani dua hari setelah itu, membangkitkan ketegangan di kawasan.
Dengan situasi yang rumit sekarang ini, kalangan analis menyatakan bahwa sengketa di Laut Tengah sulit didamaikan secepat mungkin, terutama ketika Turki berikeras tidak memberikan konsesi. Sementara itu, Eropa juga tidak mudah menimbulkan tekanan terhadap Turki ketika Ankara sedang memegang kartu yang penting yaitu “masalah migran” dalam semua perundingan hidup mati dengan Uni Eropa.