(VOVworld) – Gelanggang politik Mesir sekali lagi bergejolak dengan munculnya perkembangan-perkembangan baru pasca putaran ke-2 pemilihan presiden yang berlangsung pada pertengahan bulan Juni ini. Rakyat Mesir mengira akan mendapatkan satu perpolitikan yang lebih stabil pasca pemilu, tetapi segala yang terjadi di negara Afrika Utara ini menunjukkan hal yang sebaliknya dan tampaknya perang untuk merebut kekuasaan antara berbagai kekuatan di Mesir hanya baru dimulai.
Para pemilih Mesir memberikan suara pada putara ke-2 Pilpres
(Foto: tinmoi.vn)
Hal pertama yang patut diperhatikan pada hari-hari belakangan ini ialah kedua lawan langsung dalam putaran ke-2 pemilihan presiden yaitu Mohammed Morsi, Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) milik Organisasi Ikhwanul Muslimin dan Ahmed Shafiq, Mantan Perdana Menteri di bawah rezim Hosni Mubarak kedua-duanya menyatakan kemenangan. Dalam jumpa pers yang diadakan di Kairo, ibukota Mesir pada Selasa 19 Juni, jurubicara kelompok kampanye dari Mantan Perdana Menteri Ahmed Shafiq menyatakan bahwa capres ini telah merebut kemenangan dengan 51,5% jumlah suara, melampaui capres dari Organisasi Ikhwanul Muslimin yaitu Mohammed Morsi.
Kedua capres Mesir
(Foto: toquoc.vn)
Sebelumnya, pada Senin 18 Juni, Organisasi Ikhwanul Muslimin juga menyatakan bahwa Mohammed Morsi telah menang dengan 52,5% suara. Panasnya gelanggang politik tambah meningkat ketika jurubicara Organisasi Ikhwanul Muslimin, Mahmoud Ghozlan dengan terus terang memperingatkan akan ada satu bentrokan antara rakyat dan tentara jika capresnya tidak menang. Situasi tersebut membuat Komite Pemilihan Mesir terpaksa berseru kepada kedua capres tersebut supaya berhenti mengeluarkan pernyataan-pernyataan tentang hasil pemilihan. Menurut Komite ini, hasil yang diumumkan kedua kelompok peserta pemilihan tidak tepat dan pengumuman hasil pemilihan tersebut (yang direncanakan diumumkan pada Kamis 21 Juni) ditunda karena memerlukan waktu untuk menyelidiki gugatan-gugatan tentang ketidak-sepakatan antara jumlah suara dan jumlah pemilih yang terdaftar di tempat-tempat pemungutan suara.
Kekuasaan jatuh pada tangan tentara Mesir
(Foto: bee.net.vn)
Kalau melihat situasi di Mesir sekarang, pada saat kedua capres sedang mengajukan gugatan tentang hasil pemilihan, kita dilihat bahwa siapa saja yang terpilih menjadi presiden hanya memegang jabatan saja tanpa kekuasaan benar-benar karena sedang berada di tangan tentara. Bahkan kalangan analis juga mengajukan pertanyaan bahwa “apakah presiden terpilih adalah bukan apa-apa?”. Dikatakan seperti itu karena pada hari diadakannya putaran ke-2 pemilihan presiden (pada 17 Juni), Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF), kekuatan yang untuk sementara sedang memegang kekuasaan menyelenggarakan Tanah Air, telah mengumumkan Undang-Undang Dasar amandemen, yang antara lain mengatakan bahwa Dewan ini akan memegang hak legislatif dari Parlemen, lembaga dimana Organisasi Ikhwanul Muslimin menduduki 47% jumlah suara yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi Mesir dua hari sebelumnya. Undang-Undang Dasar amandemen juga menunjukkan bahwa SCAF boleh menolak Undang-Undang Dasar Baru dan boleh campur tangan pada penyelenggaraan Presiden. Gerak-gerik ini menimbulkan kegusaran di kalangan opini umum yang mengecam SCAF sedang berusaha mempertahankan kekuasaan.
Satu perdebatan di Mahkamah Konstitusi Mesir
(Foto: chaobuoisang.net)
Diplomat Mesir, Mantan Direktur Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Mohamed El Baradei menyebutkan perubahan dalam Undang-Undang Dasar amandemen yang dilakukan SCAF sebagai kegagalan yang serius bagi demokrasi dan revolusi di Mesir. Kasus ini juga menyalakan kontradiksi baru di gelanggan politik Mesir. Pada Selasa 19 Juni, 15.000 orang telah berkumpul di lapangan Tahrir untuk menentang SCAF yang sedang berusaha mempertahankan kekuasaan. Sedangkan Organisasi Ikhwanul Muslimin menggerakkan ribuan anggota dari berbagai provinsi dan kota supaya berkumpul di ibukota Kairo untuk ikut melakukan demonstrasi. Sementara itu, Partai-Partai Islam Mesir juga memutuskan menggugat SCAF dan kepala Mahkamah Konstitusi Agung setelah keputusan ini tentang pembubaran Parlemen dari lembaga. Partai-partai ini menyampaikan perbandingan bahwa SCAF tidak berhak membubarkan Parlemen.
Mantan Direktur IAEA Mohamed El Baradei
(Foto: baodatviet.vn)
Kelompok parlementer pimpinan Partai FJP mengancam akan membawa kasus ini ke gelanggan internasional. Partai Wasat juga mengancam akan melakukan hal serupa dengan cara menyerukan kepada parlemen-parlemen Eropa, Arab dan negara-negara lain supaya membahas masalah ini dan melakukan tindakan yang sesuai. Sementara itu, Partai Nour memperingatkan bahwa hal ini akan menimbulkan akibat-akibat yang negatif terhadap Tanah Air. Untuk menghadapi situasi tersebut, tentara Mesir telah memperkuat pasukan di jalan-jalan yang menyambungkan ibukota Kairo dengan kota Alexandria. Ini untuk pertama kalinya jumlah mobil militer yang digelarkan sebanyak ini di dekat ibukota Kairo, sejak meledaknya gelombang yang menggulingkan presiden Mubarak pada tahun 2011.
Banyak orang berkumpul untuk menentang keputusan Mahkamah Konstitusi
(Foto: vietnamplus.vn)
Pada saat hasil pemilihan presiden belum jelas, gelanggan politik Mesir sekali lagi jatuh pada kontradiksi kekuasaan baru atau dengan kata lain yaitu Mesir sedang berpindah dari kemacetan politik ini ke kemacetan politik yang lain. Tampaknya instabilitas masih eksis secara berjangka panjang di negara yang jumlah penduduknya paling banyak di dunia Arab ini./.