(VOVworld) – Setelah kudeta gagal pada 15/7 lalu, Pemerintah Turki sedang memfokuskan semua upaya untuk menstabilkan kembali situasi Tanah Air. Dengan pernyataan: “Tidak ada kekuasaan atau kekuatan yang lebih kuat dari pada kekuatan rakyat”, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dinilai cukup bijaksana ketika bersandar pada kekuatan hati rakyat dalam memperkokoh kembali kekuasaan dan melakukan perombakan secara kuat mesin Pemerintah, walaupun ini merupakan tugas yang amat sulit pada periode sekarang.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan
(Foto: AFP/VNA)
Pada 17 Juli malam, seluruh dunia terguncang ketika tayangan-tayangan huru hara di ibukota Ankara dan kota Istanbul terus disiarkan di media internasional. Kudeta dimulai dengan gerakan tank memblokade jembatan “Bosphorus” yang terkenal di kota Istanbul. Pada saat itu, di ibukota Ankara, helikopter terbang berputar-putar di udara dan para serdadu peserta kudeta melakukan serentetan penyerbuan terhadap kantor-kantor media, markas polisi, gedung Parlemen dan Istana Presiden. Akan tetapi, Pemerintah Ankara telah segera memadamkan kudeta ini. Walaupun demikian, kudeta yang gagal itu juga menewaskan kira-kira 300 orang dan membuat kira-kira 2.000 orang luka-luka. Tidak hanya begitu, kudeta ini juga membuat perekonomian negara ini mengalami kerugian kira-kira 100 miliar dolar Amerika Serikat.
Melakukan perombakan secara kuat mesin Pemerintahan
Segera setelah berhasil menumpas kudeta tersebut, Presiden Recep Tayyip Erdogan segera memberlakukan situasi darurat selama 3 bulan di seluruh negeri. Dia berkomitmen bahwa demokrasi Turki tidak akan menderita kerugian, bersamaan itu hak-hak fundamental serta hak kebebasan dari warga juga tidak akan terpengaruh. Khususnya, setelah kudeta itu, Presiden Recep Tayyip Erdogan melakukan satu operasi pembersihan mesin pemerintahan besar-besaran yang belum pernah ada. Terhitung sampai sekarang sudah ada kira-kira 7.500 orang yang ditangkap, diantaranya ada 103 jenderal dan perwira senior beserta kira-kira 2.800 serdadu dan hampir 2.800 hakim. 8.000 polisi dipecat. Presiden Erdogan juga menyatakan tidak mengecualikan hukuman mati terhadap para “pengkhianat”.
Akan tetapi, tindakan-tindakan yang dilakukan Pemerintah Turki itu sebaliknya membuat para sekutu Barat dari Turki merasa teramat cemas walaupun mereka sebelumnya mendukung Presiden Erdogan dalam kudeta ini. Amerika Serikat dan Uni Eropa mengeluarkan peringatan-peringatan serius terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan yang bersangkutan dengan pembersihan yang sedang dilaksanakan pemerintahan negara ini terhadap unsur-unsur oposisi pasca kudeta. Namun, Presiden Recep Tayyip Erdogan dengan gigih membela pandangan “demokrasi tidak kenal kompromi” dan ini merupakan hal yang perlu untuk menegakkan satu perdamaian untuk rakyat. Untuk menghindari kepanikan di kalangan rakyat, Deputi Perdana Menteri (PM) Turki, Numan Kurtulmus, Rabu (3/8), juga mengeluarkan pernyataan yang menenangkan ketika menyampaikan pidatonya di layar televisi, yang antara lain menegaskan bahwa Pemerintah tidak akan memberlakukan perintah jam malam, semua mekanisme pasar bebas tidak akan terpengaruh dan hak-hak fundamental dari warga tidak akan dilanggar.
Efek-efek pasca kudeta
Sampai sekarang, pertanyaan tentang siapa yang berdiri di belakang kudeta ini, tetap menimbulkan banyak perdebatan dan dugaan. Pemerintah pimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan menuduh ulama Fethullah Gulen, orang yang sedang tinggal secara migran di Amerika Serikat sebagai aktor intelektualitasnya. Sementara itu, Fethullah Gulen, 77 tahun, yang pernah menjadi sekutu yang dekat dari Presiden Erdogan sebelum menjadi musuh dari pemimpin Turki ini, dengan gigih membantah tuduhan tersebut, bersama melemparkan balik tuduhannya bahwa Presiden Erdogan sendiri yang merupakan aktor intelektualitas dari kudeta tersebut untuk membantu dia memperkokoh kekuasaan. Berkat kudeta ini, Presiden Erdogan telah membalikkan posisi catur dari seorang pemimpin yang sedang menghadapi banyak celaan ke posisi sebagai pemenang dengan dukungan yang luas dari rakyat.
Benar salahnya belum jelas, tapi semua hal yang paling dicemaskan sekarang ialah berakhirnya kudeta ini tidak berarti bahwa semua huru hara di Turki sudah lewat. Sebaliknya, banyak orang berpendapat bahwa ini hanya merupakan awalan bagi satu tahap distabilitas yang berjangka panjang di Turki, negara yang dianggap cukup stabil di kawasan.
Pasca kudeta ini, salah satu diantara tantangan-tantangan yang terbesar bagi Presiden Recep Erdogan ialah harus meninjau dan melihat kembali kebijakan dalam menyelenggarakan dan mengelola Tanah Air jika dia ingin terus mempertahankan kestabilan Pemerintahan. Pada waktu mendatang, Pemerintahan Turki pasti akan menghadapi tantangan yang kuat dari Partai Buruh Kurdistan (PKK). Di samping itu, masalah Presiden Erdogan dengan tegas memulihkan penerapan hukuman mati dan terus melakukan operasi pembersihan akan membuat hubungan antara negara ini dengan Barat semakin memburuk. Presiden Recep Erdogan akan menghadapi gelombang celaan yang menganggap dia menyalah-gunakan kekuasaan dan hal ini berarti jalan bagi Turki untuk masuk Uni Eropa tidak akan lancar.
Pasca kudeta, Turki akan menjadi lebih bersatu atau terpecah-belah? Pertanyaan ini sekarang berada dalam tangan para pemimpin negara ini. Negara ini pasti harus mempertimbangkan akibat-akibat dari pemberontakan baru-baru ini, dari situ menarik pengalaman. Komunitas internasional sedang menunggu Presiden Recep Erdogan akan memanfaatkan momen ini untuk menyembuhkan keretakan-keretakan politik dan persatuan nasional, membantu Turki bisa memainkan satu peranan yang lebih besar di kawasan.