(VOVWORLD) - Pada tanggal 28 Januari lalu, dengan disaksikan oleh Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengumumkan Rencana Perdamaian Timur Tengah dengan isi pokok ialah rekomendasi tentang solusi “dua negara secara nyata” bagi Israel dan Palestina. Presiden AS menegaskan bahwa rekomendasi tersebut merupakan “permufakatan abad”, merupakan “peluang bersejarah” bagi Palestina untuk membentuk negara merdeka. Akan tetapi, dalam kenyataannya, reaksi Palestina, dunia Arab dan komunitas internasional sangat berbeda.
Presiden AS, Donald Trump (Foto: The Nation) |
Rencana yang tebalnya 80 halaman dengan kuncinya ialah bagian politik yang meliputi 50 halaman, di antaranya merekomendasikan solusi “dua negara” bagi bentrokan panjang yang sudah memakan waktu selama puluhan tahun antara Israel dan Palestina. Menurut itu, Presiden AS merekomendasikan pembentukan Negara Palestina yang merdeka dengan Ibukotanya ialah beberapa kawasan di Yarusalem Timur, berhak mengontrol area wilayah yang meningkat dua kali lipat terbanding dengan dewasa ini dan dapat membangun satu terowongan yang menyambungkan daerah Tepian Barat dan Jalur Gaza. Akan tetapi syarat yang menyertainya ialah Palestina harus mengakui Yarusalem sebagai Ibukota Israel. Pada pihak Israel, AS akan mengakui zona-zona pemukiman yang dibangun oleh Israel di wilayah-wilayah Palestina yang diduduki di Tepian Barat yang sedang dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Rencana “botol lama, isinya baru”
Menurut kalangan analis, cara pendekatan yang dilakukan oleh Presiden AS terhadap masalah-masalah yang paling kunci dalam bentrokan di Timur Tengah, meliputi status Yerusalem, zona-zona pemukiman Yahudi atau wilayah-wilayah yang diduduki dan sebagainya, dalam kenyatannya sama sekali tidak ada yang baru.
Rencana Perdamaian Timur Tengah merupakan lanjutan dari langkah-langkah yang sudah dilaksanakan oleh Presiden Donald Trump sebelumnya seperti mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel (Desember 2017), memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem (Mei 2018), mengakui Daerah Dataran Tinggi Golan termasuk dalam kedaulatan Israel (Maret 2019) dan yang terkini ialah mendukung Israel dalam membangun zona-zona pemukiman penduduk Yahudi di wilayah-wilayah Palestina yang diduduki di Tepian Barat (18 November 2019). Semua gerak-gerik tersebut dinilai memanifestasikan pandangan berat sebelah yang diberikan oleh AS kepada Israel dan sudah barang tentu menjumpai protes keras dari Palestina dan banyak negara di dunia, bersamaan itu dianggap sebagai pagar rintangan yang mengakibatkan proses perdamaian Timur Tengah terperosok dalam jalan buntu.
Pada sidang luar biasa di Kota Jeddah, Arab Saudi pada Senin (3 Februari), Organisasi Kerjasama Islam (OIC) yang terdiri dari 57 negara yang mewakili lebih daria 1,5 miliar jiwa umat Muslim di dunia telah mengeluarkan pernyataan yang isinya menentang Rencana Perdamaian Timur Tengah yang direkomendasikan Presiden Donald Trump, bersamaan itu mendesak semua negara anggotanya supaya tidak membantu pelaksanaan naskah ini. Pernyataan ini menunjukkan “menentang rencana AS dan Israel, karena hal ini tidak memenuhi hasrat minimal dan hak-hak legal dari rakyat Palestina serta bertentangan dengan proses perdamaian”.
Sebelumnya, dalam satu pernyataan resminya pada tanggal 1 Februari, Liga Arab (AL) membantah rencana tersebut dan menyatakan bahwa rencana ini “tidak adil” terhadap orang Palestina, tidak memenuhi hak-hak minimal dan hasrat rakyat Palestina. Selama bertahun-tahun ini, semua resolusi dari Konferensi Tingkat Tinggi Arab selalu menganggap Yerusalem Timur sebagai Ibukota Negara Palestina yang merdeka dengan garis perbatasan yang ditetapkan seperti sebelum perang tahun 1967 meledak. Oleh karena itu, para pemimpin Arab menegaskan akan tidak bekerjasama dengan pemerintah AS untuk melaksanakan rencana ini. Pada pihaknya, kalangan otoritas Palestina memberikan reaksi yang lebih sengit, terus-menerus menuduh AS yang sedang menyabot proses perdamaian Timur Tengah ketika mengumumkan rencana yang “tak bertanggung-jawab” dan “sepenuhnya kurang obyektif”.
Kurang implementatif dan potensial dengan risiko
Opini umum dunia menyatakan bahwa reaksi orang Palestina dan dunia Arab sepenuhnya mudah dimengerti dan menunjukkan kurang implementatif dari rencana perdamaian Timur Tengah tersebut. Dalam satu pernyataan resmi, Wakil Presiden Komisi Eropa, merangkap Wakil Senior urusan Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrel, pada Minggu (2 Februari) menegaskan bahwa Rencana Perdamaian Timur Tengah baru dari Presiden AS akan tidak bisa mencapai sukses kalau tidak mendapat kesepakatan dari semua pihak yang bersangkutan. Bersama dengan reaksi orang Palestina dan dunia Arab yang pernah menjadi pihak-pihak yang langsung bersangkutan dengan proses ini dan bisa mudah dimengerti tentang hal Eropa belum bisa percaya pada sifat implementatif dari rencana yang baru saja diumumkan oleh Presiden AS.
Lebih dari semuanya ialah banyak analis bahkan telah menyatakan bahwa cara pendekatan yang dilakukan oleh AS tentang masalah zona pemukiman penduduk Yahudi bertentangan dengan prinsip mengenai solusi dua negara yang didukung oleh komunitas internasional selama ini, yang termanifestasikan secara paling jelas dalam Resolusi nomor 2334 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 23 Desember 2016. Artinya bahwa “permufakatan abad” dari AS bagi bentrokan Timur Tengah telah membelok dari peta jalan perdamaian yang sedang dijalankan oleh komunitas internasional untuk membawa Palestina dan Israel kembali ke meja perundingan. Oleh karena itu dengan satu rencana sepihak, tidak berdasarkan pada keseimbangan kepentingan untuk semua pihak, tentunya tidak bisa menciptakan terobosan, bahkan terus mendorong Timur Tengah yang mengalami kekacauan dan kerumitan semakin terperosok lebih dalam lagi ke dalam krisis dan jalan buntu.