(VOVWORLD) - Pada latar belakang situasi geopolitik di dunia terus mengalami perkembangan yang rumit, dan negara adikuasa Amerika Serikat (AS) berangsur-angsur kehilangan peranan serta pengaruhnya di banyak tempat panas di dunia, Rusia dengan pimpinan Presiden Vladimir Putin muncul pada posisi sebagai perantara yang tepercaya dalam banyak masalah menonjol global.
Presiden Rusia, Vladimir Putin dan Kanselir Jerman, Angela Merkel pada jumpa pers bersama pada 11/1/2020 (Foto: AFP / VNA) |
|
Salah satu aktivitas diplomatik yang mendapat perhatian khusus dari opini umum selama hari-hari ini ialah pertemuan puncak Rusia-Jerman di Moskow, Ibukota Rusia, sehubungan dengan kunjungan Kanselir Jerman, Angela Merkel di Rusia. Menurut para analis, hal yang patut diperhatikan ialah event ini tidak hanya mencairkan kebekuan dalam hubungan yang hambar sudah makan waktu selama berbulan-bulan ini antara Barat dan Rusia, melainkan juga menegaskan peranan dan posisi Rusia yang semakin meningkat dalam serentetan masalah internasional. Dalam pertemuan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada 11/1 ini, pemimpin Jerman, yang mewakili Eropa, ingin mengusahakan dukungan Rusia dalam serentetan masalah global, meliputi: mempertahankan permufakatan nuklir Iran, menangani masalah Suriah, krisis Libia, bentrokan di Ukraina Timur dan proyek Arus Utara 2, semuanya menjadi tempat-tempat panas di dunia selama ini.
Harapan tentang usaha mempertahankan permufakatan nuklir Iran
Setelah AS secara sepihak menarik dari permufakatan nuklir Iran yang ditandatangani pada tahun 2015 antara Teheran dan Kelompok P5+1 (yang meliputi 5 negara anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa plus Jerman) atau disebut sebagai Rencana Aksi Bersama yang Komperehensif (JCPOA) pada bulan Mei 2018 dan mengenakan kembali sanksi-sanksi terhadap Iran, Teheran berulang kali menyatakan dan dalam kenyataannya telah melaksanakan langkah-langkah untuk mengurangi komitmen, sehingga membuat JCPOA menghadapi bahaya keruntuhan secara serius. Negara-negara Eropa, yang dikepalai Inggris, Perancis dan Jerman, telah melakukan banyak upaya untuk menyelamatkan dokumen ini, tetapi belum memberikan hasil yang positif.
Sementara itu, sekarang Rusia merupakan salah satu di antara sedikit negara yang punya hubungan baik dengan Iran di banyak bidang dan dalam banyak masalah internasional. Lebih-lebih lagi, Moskow juga mempunyai hubungan yang cukup baik dengan banyak negara di kawasan, termasuk mitra dan lawannya Iran. Kenyataan ini membantu Rusia menjadi negara yang punya suara paling berbobot terhadap Iran pada latar belakang sekarang ini, dan itu adalah alasan mengapa negara-negara Eropa, termasuk Jerman, aktif mendekati Rusia. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa Rusia bisa menjamin bahwa Iran akan menaati permufakatan tersebut, dan dokumen ini akan bisa terus dipertahankan, kalau memperhitungkan kerumitan masalahnya dan ketegangan antara AS dan Iran yang sulit diduga seperti sekarang ini.
“Pemain besar” dalam krisis Suriah dan masalah Libia
Di samping dokumen panas tentang masalah nuklir Iran, Rusia juga semakin menegaskan peranannya dalam serentetan masalah besar di Timur Tengah, khususnya krisis Suriah. Sejak membuat keputusan melakukan intervensi dalam masalah Suriah pada September 2015, Rusia telah membantu Pemerintah konstitusional Suriah memperkokoh secara mantap posisinya dalam perang dan berdiri mantap dalam menghadapi pasukan-pasukan pembangkang yang mendapat dukungan dari luar, serta memundurkan ekspansi ang dilakukan Organisasi Teroris yang menamakan diri sebagai Negara Islam (IS). Sementara peranan AS di Suriah semakin merosot, khususnya setelah Washington memutuskan menarik pasukan dari Suriah Utara pada Oktober 2019, Rusia terus menerus menegaskan suaranya. Yang terkini ialah Rusia dan Turki telah mencapai permufakatan gencatan senjata penting di Provinsi Idlib, Suriah Barat Daya, yang mulai berlaku pada tanggal 9 Januari 2020.
Sementara itu, bagi krisis di Libia, Rusia dan Turki sedang berupaya mendorong satu gencatan senjata antara para pihak, membuka prospek menghentikan pertempuran-pertempuran sengit yang meledak dari awal April 2019 dan menimbulkan ribuan korban, memaksa lebih dari 300.000 orang lain harus meninggalkan rumahnya. Dalam krisis di Libia, Rusia dan Turki sedang memainkan peranan yang berbeda-beda, tetapi mempunyai pengaruh besar. Menurut itu, Rusia tidak langsung mengintervensi dalam masalah Libia seperti Turki, tetapi pasukan proRusia mendukung Pasukan Tentara Timur (LNA) yang dikepalai Jenderal Khalifa Haftar dalam pertempuran menentang pasukan pendukung Pemerintah Persatuan Nasional Libia (GNA) yang didukung Turki. Sekarang, kontak-kontak antara pemimpin senior GNA dan LNA sedang aktif didorong di Moskow, Ibukota Rusia.
Selain tempat-tempat panas di Timur Tengah, Rusia juga memainkan peranan penting dalam menstabilkan situasi, menghentikan bentrokan di Ukraina Timur. Pada Desember 2019, Presiden Rusia, Vladimir Putin telah memberikan sumbangan besar terhadap suksesnya Konferensi Tingkat Tinggi Kuartet Normandia tentang Ukraina di Paris, Ibukota Perancis, diantaranya mencapai kesepakatan tentang permufakatan-permufakatan positif.
Sebelum perlawatan yang dilakukan Kanselir Jerman, Angela Merkel di Rusia, banyak politisi Jerman menilai bahwa Moskow memainkan peranan penting dalam mengusahakan solusi terhadap krisis di dunia. Omid Nouripour, seorang politikus urusan kebijakan luar negeri dari Partai Hijau menegaskan bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin merupakan pemimpin yang punya pengaruh besar, meski dalam masalah Timur Tengah, Libia atau krisis di Ukraina Timur.