(VOVWORLD) - Rusia baru saja memutuskan untuk menarik sementara beberapa fasilitasnya dari aktivitas inspeksi dalam Kesepakatan tentang Traktat Pemangkasan Senjata Ofensif Strategis (START) karena situasi yang tidak setara dalam pelaksanaannya. Hal ini semakin mempersulit perpanjangan Traktat Pemangkasan Senjata Ofensif Strategis Baru (New START, juga disebut sebagai START 3), yang berdampak negatif pada keamanan global.
Kendaraan peluncur rudal balistik Rusia. (Foto: Getty Images) |
Pada 10 Agustus, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Rusia memberitahukan bahwa negara ini telah resmi memberitahukan kepada Amerika Serikat (AS) melalui kanal-kanal diplomatik tentang keputusan tersebut. Kemenlu Rusia menekankan, Moskow terpaksa mengambil tindakan ini karena Washington ingin memulai kembali kegiatan inspeksi tanpa memperhitungkan kenyataan saat ini yang sedang menciptakan keuntungan sepihak bagi AS.
Perundingan New START Tidak Mencapai Kemajuan
Ketidaksetaraan yang diungkapkan Rusia ialah karena inspektur Rusia tidak dapat terbang melewati wilayah Eropa karena pembatasan visa, begitu juga dengan pesawat Rusia. Mengutip klausul-klausul dalam Traktat tentang "pengecualian", Rusia menyatakan bahwa sanksi Barat telah mencegah inspektur Rusia menjalankan tugas mereka di wilayah AS, sehingga memberi AS keuntungan. Menurut pernyataan Kemenlu Rusia, kegiatan inspeksi akan dilanjutkan jika prinsip keadilan dan kesetaraan dipulihkan. Moskow menganggap bahwa "sanksi-sanksi sepihak terhadap Rusia" yang dikenakan oleh AS dan sekutunya, seperti pembatasan visa bagi inspektur Rusia dan perintah larangan pesawat Rusia di wilayah udara AS dan Uni Eropa. Langkah-langkah pembatasan ini membuat aktivitas inspeksi Rusia di AS sesuai Traktat adalah tidak bisa.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Keamanan Federal Rusia, Dmitry Medvedev merasa sangsi terhadap rekomendasi AS tentang negosiasi kesepakatan pengontrolan senjata baru untuk mengganti Traktat New START. Pada 1 Agustus, dalam satu pernyataan yang dikeluarkan sebelum acara pembukaan konferensi negara-negara peserta Traktat Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT) yang diadakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, Presiden AS Joe Biden menegaskan bahwa Washington bersedia membahas dengan Rusia tentang kesepakatan pengontrolan senjata baru untuk mengganti NEW START dan meminta Moskow membuktikan “kesediaan koordinasi”.
Berdampak Pertahanan Keamanan dan Stabilitas Internasional
Traktat New START ditandatangani Rusia dan AS pada 2010 dan berlaku selama 10 tahun sejak tahun 2011. Ini merupakan kesepakatan pengontrolan senjata satu-satunya yang masih ada antara dua kekuatan nuklir ini, setelah AS menarik diri dari Traktat tentang penghapusan rudal jarak menengah dan jarak pendek (INF) dan Langit Terbuka. Kesepakatan ini menentukan, setiap negara boleh menggelar maksimal 1.550 hulu nuklir diantara 700 kendaraan peluncur. Pada awal 2021, tidak lama setelah pelantikan, Presiden AS Joe Biden telah memperpanjang dokumen ini untuk lima tahun lagi, sampai 5 Februari 2026, membalikkan kebijakan pendahulunya. Namun, ketegangan hubungan bilateral AS-Rusia membuat perundingan tentang kesepakatan pengganti New START belum mencapai kemajuan manapun.
Rusia baru-baru ini sudah berkali-kali memperingatkan bahwa tanpa kesepakatan pengganti New START akan membuat keamanan global mengalami risiko, bahkan mengakibatkan satu perlombaan senjata nuklir baru. Banyak analis juga menilai bahwa tidak bisa memprediksi skala instabilitas dari ketiadaan New START terhadap keamanan internasional pada umumnya, sehingga membahayakan seluruh sistem traktat internasional tentnag senjata nuklir, di antaranya Traktat larangan uji coba komprehensif dan Traktat nonproliferasi senjata nuklir.
Di Asia, jika Tiongkok ikut serta dalam perlombaan bersenjata stategis dengan AS, negara-negara besar lainnya seperti Jepang, Republik Korea, dan Ausrtalia mungkin bisa mengambil keputusan sendiri di bidang keamanan strategis. Perihal Tiongkok memperkuat kekuatan strategis, khususnya dalam konteks hubungan bilateral baru menjadi buruk, pasti akan memicu tindakan balasan dari India. Semua perkembangan ini bisa mengakibatkan satu perlombaan bersenjata nuklir di kawasan Asia-Pasifik. Lebih-lebih lagi, pembatalan atau penundaan New START berarti bahwa satu mekanisme yang mengikat secara hukum satu-satunya tentang pengontrolan satu sama lain akan hilang. Apabila tidak ada satu mekanime seperti itu, dialog tentang perlucutan nuklir akan mengalami kemunduran yang signifikan. Hal ini sama artinya bahwa bukan hanya Rusia dan AS, tetapi semua negara lain bersedia melakukan perundingan tentang pembatasan atau pemangkasan senjata nuklir akan harus memulai seluruh prosesnya sejak awal.