(VOVworld) – Perundingan damai di Yaman yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekali lagi terancam mengalami jalan buntu. Pasukan Houthi, pasukan gerilyawan terkuat di Yaman yang menganut agama Islam sekte Syiah, baru saja menolak rekomendasi-rekomendasi PBB tentang satu rencana perdamaian, meminta prasyarat supaya membentuk satu Pemerintah persatuan di Yaman. Tambahan lagi, perkembangan-perkembangan baru yang menegangkan di lapangan membuat semua orang tidak bisa mengharapkan satu perdamaian akan cepat ditegakkan di negara ini.
Jubir Pasukan Pembangkang Houthi di Yaman pada 17/7
(Foto: AFP/VNA)
Krisis di Yaman bisa dianggap sebagai satu perang saudara yang diperluas dan bahaya timbulnya destabilitas yang berkepanjangan ketika semua rencana perundingan damai selama ini gagal walaupun perantaranya adalah Liga Arab ataupun PBB. Yaman terjebak dalam kekisruhan setelah kudeta yang menggulingkan Presiden Ali Abdullah Saleh pada 2012. Sampai sekarang, bentrokan di Yaman telah merampas jiwa kira-kira 6.400 orang dan membuat kira-kira 2,8 juta orang lain harus mengungsi. Kira-kira 80% penduduk negara ini sekarang sedang membutuhkan bantuan kemanusiaan darurat.
Jalan buntu dalam mengusahakan suara bersama
Dalam satu perkembangan terkini, pada Senin (1/8), delegasi Pemerintah Yaman peserta perundingan-perundingan damai dengan PBB sebagai perantaranya, telah memutuskan meninggalkan Kuwait setelah pasukan Houthi menolak satu rencana perdamaian yang direkomendasikan oleh PBB guna menghentikan bentrokan yang sudah merampas jiwa ribuan warga negara ini. Rancangan permufakatan dikeluarkan PBB setelah putaran perundingan damai yang memakan waktu selama beberapa bulan ini di Kuwait, meminta kepada pasukan pembangkang Houthi supaya menarik diri dari ibukota Sanaa yang didudukinya sejak 9/2014 serta menyerahkan senjata dalam waktu 45 hari. Rencana ini bertujuan menggantikan peta jalan perdamaian yang dikeluarkan Utusan khusus PBB urusan masalah Yaman, Ismail Ould Cheikh Ahmed sebelumnya. Menurut peta jalan yang lama, Chikh Ahmed meminta membentuk satu pemerintah persatuan di Yaman yang meliputi pula pasukan pembangkang, hal yang tidak disetujui Pemerintah pimpinan Presiden Yaman, Abd-Rabbu Mansour Hadi. Pemerintah Yaman menerima rencana baru ini. Akan tetapi pihak Houthi menolak semua rekomendasi, bersamaan itu menegaskan kembali tuntutan selama ini yaitu untuk mencapai satu permufakatan damai, para pihak harus menyepakati pembentukan satu Pemerintah persatuan, termasuk juga satu Presiden baru dan satu Pemerintah baru.
Sebelumnya, perundingan-perundingan damai Yaman yang disponsori PBB sudah berulang kali mengalami jalan buntu ketika para pihak tidak bisa menyepakati masalah-masalah kunci. Pihak Houthi meminta membentuk satu Pemerintah persatuan nasional sebelum menuju ke satu solusi apapun, pada saat delegasi Pemerintah Yaman mengimbau melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB, yang antara lain meminta kepada pasukan pembangkang Houthi dan para sekutunya menarik diri dari daerah-daerah yang mereka duduki sejak tahun 2014, termasuk juga ibukota Sanaa dan menyerahkan jenis-jenis senjata berat.
Kontradiksi makin meningkat tinggi ketika pasukan pembangkang Houthi bersama dengan sekutunya yaitu Partai Kongres Rakyat Nasional (GPC) pimpinan Mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, pada 28 Juli lalu, mengumumkan pembentukan satu “Dewan Politik Agung” bersama dari dua kekuatan ini untuk menyelenggarakan Tanah Air. Pemerintah Yaman menganggap gerak gerik tersebut sebagai “satu kudeta baru” dan menyatakan dengan gigih tidak berkompromi. Sementara itu, bentrokan antara serdadu Yaman dengan pasukan pembangkang Houthi di daerah perbatasan yang terjadi terus-menerus telah memakan banyak korban.
Kontradiksi sekte agama
Kerumitan dalam krisis di Yaman berasal dari kontradiksi sekte agama. Di Yaman serta di kawasan Timur Tengah terus terjadi kontradiksi antara dua sekte dalam agama Islam yaitu Syiah dan Sunni karena ada bermacam-macam cara pemahaman tentang penerus Nabi Mohammad. Mayoritas warga Yaman adalah Muslim, tapi terpecah dalam dua sekte yaitu Sunni dan Syiah. Situasi semakin menjadi rumit ketika pada 2009, Yaman menjadi pangkalan Al Qaeda. Pola fikir Al-Qaeda berdasar pada fikiran sekte Sunni jadi berbentrok dengan Houthi (yang menganut sekte Syiah). Oleh karena itu, Houthi juga merupakan kelompok yang berjuang melawan Al-Qaeda. Dan Yaman menjadi medan perang bagi ekstrimisme antara tentara Pemerintah dengan pasukan Houthi dan cabang Al-Qaeda.
Sebagai salah satu diantara pasukan-pasukan gerilyawan terkuat di Yaman yang menganut Islam sekte Syiah, pasukan Houthi di Yaman Utara terus-menerus berkonfrontasi dengan Pemerintah pusat sejak tahun 2009. Pada 2011, Presiden Ali Abdullah Saleh digulingkan dan Abd-Rabbu Mansour Hadi menjadi Presiden dan mendapat pengakuan internasional. Pada Januari 2015, pasukan Houthi telah memaksa Presiden Hadi supaya lengser. Pada Februari 2015, situasi perang mengalami eskalasi sehingga Presiden Hadi harus melarikan diri ke kota Aden, (Yaman Selatan) setelah itu terbang ke Arab Saudi untuk meminta pertolongan. Pada 25 Maret lalu, pasukan koalisi dari 10 negara kawasan Teluk dan Arab melakukan serangan-serangan udara guna mencegah kemajuan pasukan Houthi ke arah Selatan. Sejak saat itu sampai sekarang, Yaman terjebak dalam pusaran kekerasan dan perpecahan yang tanpa ada jalan keluar.
Tanpa memperdulikan upaya-upaya komunitas internasional yang dipimpin PBB, faksi-faksi di Yaman tetap belum bisa mengusahakan suara bersama tentang unsur peserta mesin Pemerintah transisi. Perdamaian dan kestabilan di negara Timur Tengah ini belum bisa ditegakkan, hal ini berarti ketegangan-ketegangan yang bertumpang-tindih di kawasa Timur Tengah pasti belum bisa ditangani pada waktu mendatang.