(VOVWORLD) - Harapan-harapan tentang satu kesepakatan gencatan senjata jangka panjang antara Israel dan pasukan Hamas pada pekan lalu lenyap setelah upaya-upaya diplomatik mengalami jalan buntu. Pada saat yang sama, kekhawatiran yang kian besar akan merebaknya musibah kemanusiaan yang terbesar sejak konflik di Jalur Gaza ketika tentara Israel mengumumkan rencana serangan terhadap Kota Rafah.
Empat bulan setelah konflik antara Israel dan pasukan Hamas merebak di Jalur Gaza, harapan-harapan tentang satu gencatan senjata jangka panjang sedang kian menjadi suram setelah perundingan-perundingan diplomatik berakhir pada tgl 13 Februari di Kairo (Ibu kota Mesir) dengan jalan buntu.
Dplomasi Mengalami Jalan Buntu
Pada tgl 18 Februari, ketika berbicara pada Forum Keamanan Munich (MSC) di Jerman, Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman Al Thani, mengakui bahwa upaya-upaya diplomatik untuk mencapai satu kesepakatan gencatan senjata jangka panjang antara Israel dan pasukan Hamas sedang mengalami jalan buntu setelah hampir 3 pekan perundingan yang dilakukan secara bertubi-tubi.
Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman Al Thani (Foto: EPA/Anna Szilagyi) |
Harapan-harapan untuk mencapai kesepakatan muncul ketika wakil para pihak yang terlibat dalam konflik, beserta pejabat keamanan primer Amerika Serikat, Qatar, dan beberapa negara Timur Tengah berada di Kairo (Ibu kota Mesir) pada pekan lalu untuk melakukan perundingan. Namun, hingga tgl 13 Februari, para pihak menghentikan perundingan tanpa mencapai kemajuan manapun. Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman Al Thani, mengakui:
“Waktu tidak berdiri di pihak kita. Kami telah mencapai beberapa kemajuan dalam perundingan selama beberapa pekan ini dan berupaya mencapai satu kesepakatan antara dua pihak. Namun, selama beberapa hari belakangan ini, kemajuan tidak tercapai seperti yang diharapkan dan saya percaya bahwa masih ada banyak perbedaan antarpihak”.
Menurut pemimpin Qatar, perundingan-perundingan belakangan ini berfokus pada dua isi utama yaitu: pembukaan satu koridor kemanusiaan di Jalur Gaza dan jumlah tahanan Palestina yang dibebaskan untuk ditukar dengan sandera yang sedang ditahan Hamas. Perundingan-perundingan tentang masalah kemanusiaan mencapai kemajuan, tetapi Israel dan Hamas mengalami perselisihan yang sengit tentang jumlah tahanan Palestina untuk ditukar dengan sandera Israel. Pada tgl 17 Februari, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa tidak akan ada perundingan lagi yang berlangsung selama Hamas belum mengubah tuntutan-tuntutannya.
“Perundingan ini membutuhkan satu pendirian yang keras. Saya ingin berbicara kepada para warga negara Israel bahwa hingga saat ini, tuntutan-tuntuan Hamas merupakan fiksi. Mereka ingin mengalahkan Israel dan tentu saja kami tidak setuju. Tetapi kalau Hamas melepaskan tuntutan-tuntutan ini, kami bisa terus mempertimbangkan”.
Di samping pernyataan yang tidak memberikan konsesi dalam perundingan, Pemerintah Israel terus mempertahankan pandangan-pandangan keras yang lain seperti: membantah pengakuan negara-negara yang “sepihak” terhadap negara Palestina yang merdeka; menolak pembatalan rencana serangan terhadap Kota Rafah di bagian Selatan Jalur Gaza. Di samping itu, Pemerintah Amerika Serikat pada akhir pekan lalu terus menentang rancangan Resolusi yang disampaikan Aljazair kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengimbau gencatan senjata kemanusiaan di Gaza sehingga upaya-upaya diplomatik multilateral kian dilanda kesulitan.
Pemandangan kehancuran akibat serangan di Jalur Gaza pada 16 Februari. Foto: AFP |
Bahaya Krisis Kemanusiaan yang Lebih Besar
Upaya-upaya diplomatik yang mengalami jalan buntu membuat komunitas internasional merasa khawatir akan satu krisis kemanusiaan lebih besar yang bisa merebak di Jalur Gaza dalam waktu beberapa pekan mendatang, ketika Pemerintah Israel pada tgl 19 Februari memberithaukan akan menyerang Kota Rafah pada awal bulan Maret, apabila pasukan Hamas tidak membebaskan semua sandera.
Terletak di kutub Selatan Jalur Gaza, Rafah dianggap sebagai tempat perlindungan terakhir dari banyak warga Palestina yang melarikan diri dari konflik sejak akhir tahun lalu. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekarang ada sekitar 1,3 hingga 1,4 juta warga sipil Palestina yang sedang berlindung di Kota Rafah sehingga mengubah tempat ini menjadi kota dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi di dunia. Pada tgl 16 Februari di Ibu kota Paris, setelah berdiskusi dengan Raja Yordania tentang situasi di Jalur Gaza, Presiden Prancis, Emmanuel Macron memperingatkan bahwa satu serangan terhadap Kota Rafah berkemungkinan menciptakan musibah kemanusiaan besar yang belum pernah ada.
“Korban jiwa akibat serangan ini hingga kini tidak bisa diterima. Beberapa hari lalu, saya telah mengulangi kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahwa serangan Israel terhadap Kota Rafah bisa mendatangkan satu musibah kemanusiaan yang belum pernah ada preseden dan akan menjadi satu titik balik dari konflik”.
Di samping bahaya kemanusiaan, ada banyak kemungkinan satu serangan berskala besar yang dilakukan tentara Israel terhadap Rafah akan memojokkan ratusan ribu orang Palestina mengungsi ke Semenangjung Sinai wilayah Mesir di dekatnya, menciptakan satu krisis baru terhadap Mesir. Pada tgl 18 Februari, Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry, memperingatkan bahwa Mesir menganggap ini sebagai garis merah yang bisa memutus hubungan antara Mesir dan Israel dan menyebarkan konflik ke kawasan./.