(VOVworld) - Setelah semua perundingan guna mengusahakan satu solusi damai untuk perang saudara di Suriah yang berlangsung di Jenewa (Swiss) akhir-akhir ini mengalami kegagalan, kalangan analis menilai bahwa kemacetan ini tidak hanya berangsur-angsur melunturkan harapan akan satu terobosan politik melalui perundingan damai untuk menghentikan bentrokan yang sudah memakan waktu tiga tahun ini di Suriah, melainkan juga membuat perang di negara ini mengalami eskalasi lebih serius, karena setelah perkembangan ini, sudah tentu Pemerintah Suriah dan faksi oposisi akan memperkuat tekanan militer di medan perang .
Perihal wakil Pemerintah Damaskus dan pasukan pembangkang di Suriah setuju melakukan pertemuan di meja perundingan pernah membuka harapan akan satu solusi damai untuk menghentikan perang saudara yang berkepanjangan dan berlumuran darah ini. Akan tetapi, semua upaya dari komunitas internasional tidak mendatangkan hasil manapun, ketika kedua fihak tetap tegas mempertahankan pendirian-nya. Pada saat Pemerintah Damaskus menganggap usaha menentang terorisme sebagai prioritas primer dalam perundingam, maka faksi oposisi beranggapan bahwa solusi kunci untuk menghentikan bentrokan yalah membentuk Pemerintah transisi tanpa hadirnya Presiden Bashar al-Assad.
Kegagalan sudah biasa diramalkan lebih dulu
Sudah sejak perundingan-prundingan belum berlangsung, banyak pakar telah meramalkan bahwa perundingan damai merupakan perjuangan yang penuh dengan kesulitan dan tantangan. Karena ia berlangsung pada latar belakang ada kesenjangan dalam imbangan kekuatan antara Pemerintah Suriah dan faksi oposisi. Pada saat tentara pimpinan Presiden Bashar al-Assad sedang unggul di medanperang, maka kekuatan oposisi di Suriah semakin mengalami perpecahan danmenampakkan, banyak kontradiksi internal. Hal yang patut diperhatikan yalah dua sekutu besar dari Pemerintah Damaskus yalah Iran dan Rusia juga mulai mengangkuti senjata untuk Suriah, bahkan Teheran juga mengirim personel militernya untuk membantu Pemerintah pimpinan Bashar al-Assad, pada saat semua program Amerika Serikat dan Barat yang dilakukan untuk membantu pelatihan dan memperlengkapi senjata kepada pasukan pembangkang di Suriah berlangusng secara terbatas.
Seorang pakar Institut Pengkajian tentang Masalah-Masalah Internasional dan Keamanan Jerman menilai bahwa kegagalan semua perundingan di Jenewa akan mengakibatkan situasi eskalasi militer, karena tidak ada pihak yang mau asor di medan perang. Pada saat Pemerintah pimpinan Presiden Bashar al-Assad mengatakan bahwa mereka sudah lepas dari tekanan besar dari pihak para sekutu dalam perbahasan untuk membentuk satu Pemerintah transisi, maka faksi oposisi berharap supaya kegagalan perundingan akan diikuti dengan dukungan dan bantuan dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat.
Demonstrasi di London (Inggeris) memprotes intervensi militer pada Suriah
(Foto: phapluatxahoi.vn)
Apakah intervensi militer akan mengganti solusi diplomatik?
Setelah perundingan mengalami kegagalan, Amerika Serikat mengecam Pemerintah pimpinan Presiden Bashar al-Assad sengaja merintangi kemajuan dalam perundingan di Jenewa, bersamaan itu menuduh Pemerintah Damaskus memperkuat serangan-serangan terhadap warga sipil. Amerika Serikat juga membuat rencana mendorong kuat intervensi pada Suriah.Dalam kunjungan-nya di Tiongkok pada pekan lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry mengakui bahwa Washington sedang berbahas secara serius tentang pengubahan politik terhadap Suriah dan beberapa solusi militer terhadap Suriah sekarang adalah sesuai. Kementerian Pertahanan Amerika Serikat baru-baru ini juga bicara setengah terbuka setelah tertutup tentang satu cara militer terhadap krisis Suriah. Alasan yang diajukan oleh Washington ialah intervensi militer akan bisa memecahkan beberapa krisis kemanusiaan di Suriah, bersamaan itu melawan para anasir teroris. Disamping itu, Pemerintah pimpinan Presiden Barack Obama mengatakan bahwa memperkuat persiapan bagi serangan militer akan merupakan tekanan yang memaksa Pemerintah pimpinan Presiden Bashar al-Assad menerima satu solusi diplomatik. Satu rincian yang amat patut diperhatikan ialah pada pekan lalu, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama telah mengadakan pertemuan tertutup dengan Raja Jordania, Abdullah II di Amerika Serikat untuk berbahas tentang masalah-masalah kawasan Timur Tengah, diantaranya ada Suriah. Menurutnya, sebagai ganti–nya pos pinjaman dan bantuan sebanyak USD 1,6 miliar, Jordania harus mengizinkan Washington menggunakan wilayah-nya dalam hal Amerika Serikat menggelarkan serangan militer terhadap Suriah. Untuk bisa melaksanakan rencana intervensi terhadap Suriah, Amerika Serikat akan memperlengkapi senjata kepada faksi oposisi, membantu mereka cukup kekuatan guna mengontrol kawasan ibu kota Damaskus sebelah Selatan, sebagai batu loncatan untuk mencanangkan serangan-serangan militer guna membasmi tentara Pemerintah.
Arab Saudi, negara yang selalu mendukung faksi oposisi di Suriah akhir-akhir ini juga memperkuat bantuan senjata mutakhir kepada pasukan pembangkang, diantaranya ada sistem rudal penangkis udara yang bisa dipikul, hal yang sebelumnya selalu ditentang Gedung Putih karena mencemaskan bahwa semua jenis senjata ini bisa jatuh pada tangan jaringan teroris Al-Qaeda. Bersama dengan kunjungan yang akan dilakukan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama ke Arab Saudi, opini umum bisa memprakirakan bahwa satu rencana melakukan intervensi militer di Suriah mungkin akan berlangsung pada waktu tidak lama lagi.
Sementara itu, Inggris juga mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa supaya segera cepat bertindak untuk menghentikan krisis perikemanusiaan di Suriah dan gagal-nya putaran perundingan yang lalu semakin membuat komunitas internasional harus melakukan tindakan-tindakan intervensi yang lebih kuat lagi. Dari semua perkembangan sekarang, opini umum beranggapan bahwa perang saudara di Suriah sudah pasti perkembangan- perkembangan baru yang menegangkan./.