(VOVWORLD) - Tahun 2018 sudah lewat, meninggalkan banyak masalah yang masih porak-peranda belum selesai bagi kawasan Timur Tengah. Bentrokan kepentingan antar-faksi, perebutan pengaruh yang sengit antarnegara adi kuasa, sehingga membuat kawasan ini pada tahun lalu mengalami peledakan banyak kontradisi, ketegangan dan bentrokan, sulit mengharapkan adanya terobosan-terobosan untuk memecahkan bentrokan dalam tahun 2019.
Bentrokan antara para demonstran Palestina dan serdadu Israel di Jalur Gaza ke arah utara, pada 19/11/2018. (Foto: Kantor Berita Xinhua-Kantor Berita Viet Nam). |
Meskipun tahun 2018 menyaksikan “hari kematian” terhadap IS di Irak dan Suriah, tapi warna gelap masih tetap merupakan warna yang dominan dari panorama Timur Tengah pada tahun 2018.
Suasana di kawasan bertambah panas
Bentrokan yang berkepanjangan di Timur Tengah antara Palestina dan Israel pada tahun 2018 secara mendadak naik suhu, ketika Amerika Serikat (AS) memutuskan mengakui Yerusalem, wilayan yang sensitif antara Israel dan Palestina, sebagai Ibukota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke sini. Keputusan AS ini telah menyulut kemarahan dari warga Palestina, menutup ketat-ketat pintu perundingan tentang masa depan satu solusi dua Negara Palestina-Israel yang hidup berkoeksistensi secara damai yang pernah diusahakan komunitas internasional selama ini.
Yang lebih menyedihkan ialah dokumen nuklir Iran tampaknya telah ditutup, sekarang ini menjadi penyebab yang “mengaktifkan” paket sanksi AS terhadap Teheran, disusul dengan banyak bahaya yang potensial. Kebijakan AS yang diatas segela-galanya adalah dari Presiden Donald Trump telah menjerumuskan hubungan AS-Iran ke tarap yang paling rendah dalam satu dekade ini. Tidak hanya keras dalam menarik diri dari permufakatan nuklir Iran yang bersejarah, Washington juga memperkuat pengenaan sanksi terhadap Teheran. Pada saat AS selalu menganggap Iran sebagai “ancaman” yang menjamah kepentingan-kepentingan AS yang strategis dan berjangka panjang di Timur Tengah, menghancurkan struktur keamanan regional yang dibentuk oleh AS berdasarkan pada sekutu-sekutu di kawasan seperti Israel dan Arab Saudi, maka Iran juga menunjukkan sikap-nya tidak mau mundur, dengan tegas tidak memberikan konsesi, meskipun tekanan sanksi-sanksi yang dikenakan oleh AS semakin keras. Semua tuduhan dan ancaman satu sama lain menciptakan bahaya tersulutnya satu perang baru di Timur Tengah.
Sementara itu, jalan menegakkan perdamaian di Suriah pada tahun lalu tetap menjumpai kesulitan dan rintangan. Meskipun Pemerintah Suriah memperoleh kemenangan dalam bentrokan, menegakkan ketentuan-ketentuannya di banyak kawasan di seluruh negeri Suriah dengan mendapat bantuan dari Rusia dan Iran, tapi jumlah korban dalam semua bentrokan ini adalah sangat besar. Akhir-akhir ini, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dari Suriah dan Turki telah mengumumkan satu statistik yang menyedihkan, menurutnya, jumlah penduduk sipil yang tewas di Suriah dalam tahun 2018 mencapai 7.000 orang, lebih tinggi terbanding dengan tahun 2017.
Dalam panorana umum itu, Yaman - negara Timur Tengah yang lain juga menyumbangkan nada rendah ketika menghadapi krisis perikemanusiaan yang paling serius di dunia pasca empat tahun mengalami perang sipil. Puluhan ribu orang menjadi korban, jutaan orang lain harus mengungsi. 22 di antara 25 juta penduduk Yaman bergantung pada bantuan dan warga di negeri ini sedang berdiri di tepi jurang kelaparan yang paling mengerikan di dunia selama tahun ini. Akan tetapi, sampai sekarang, satu solusi politik komprehensif untuk menghentikan bentrokan yang masih belum ditemukan semua fihak dan belum tahu ke mana masa depan negeri ini .
Pada latar itu, bahaya tentang keamanan, instabilitas politik, terorisme extrimis semakin punya peluang meledak, menjadi masalah-masalah yang menyedihkan hati di Timur Tengah pada tahun 2018.
Situasi Timur Tengah pada tahun 2019 belum ada banyak terobosan
Situasi di Timur Tengah sekarang ini terkena dominan banyak kekuatan, baik di dalam maupun dari luar kawasan dan menjadi medan "benturan" dari kepentingan strategis yang sengit antar-negara adi kuasa. Meskipun proses perdamaian di Suriah sedang mengalami kemajuan-kemajuan tertentu dengan pernyataan AS mengenai penarikan pasukan sepenuh-nya dari Suriah, tapi hal ini tidak berarti AS meninggalkan kepentingan-nya di Timur Tengah, tapi hanya berpindah ke strategi intervensi yang selektif. Satu kawasan dengan intervensi dari terlalu banyak pihak beserta target-target yang bertentangan di negara ini bisa membuat masa depan politik Suriah belum bisa terbentuk. Begitu juga, bentrokan di Yaman, meskipun harapan baru saja dinyalakan pasca perundingan yang mendapat sponsor dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Desember 2018 lalu, tapi hakekatnya juga hanya merupakan satu perang mandat selanjutnya di Timur Tengah saja. Perjuangan merebut pengaruh antara dua negara adi kuasa di kawasan ialah Arab Saudi dan Iran, berdiri di belakang-nya ialah poros-poros persekutuan tidak mudah dipecahkan pada waktu mendatang.
Bisa dikatakan bahwa panorama Timur Tengah tahun 2018 merupakan keseluruhan antara kontradiksi-kontradiksi yang hiruk-pikuk dan berkepanjangan dan belum ada arah dinetralkan, dari proses-proses perdamaian yang masih di tengah jalan. Pada tahun 2019, perkembangan di kawasan masih ada banyak problematik yang sulit diduga, karena semua negara adi kuasa masih sedang mengusahakan jawaban demi kepentingan geostrategi sendiri di kawasan yang penting ini.