(VOVWORLD) - Serentetan gerak-gerik balas-membalas di bidang ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang berlangsung pada Senin (5 Agustus) sedang memojokkan perang dagang AS-Tiongkok ke tahap baru yang berbahaya. Perkembangan ini memperlihatkan bahwa dua pihak belum menunjukkan indikasi menurunkan suhu ketegangan, hal ini berarti ekonomi dunia masih menghadapi sangat banyak risiko.
Ilustrasi (Foto: taichinh.vn) |
Tidak hanya merupakan perang dagang semata-mata, ketegangan antara AS dan Tiongkok juga merupakan konfrontasi geo-politik antara dua perekonomian yang besar. Dan dunia sedang harus menghadapi instabilitas-instabilitas dan kekacauan ketika konfrontasi strategis antara AS dan Tiongkok terus meningkat.
Balas-membalas secara bertubi-tubi
Hanya dalam waktu sehari saja, dunia telah menyaksikan reaksi paling kuat yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap AS sejak perang dagang meledak. Mungkin keputusan Presiden AS, Donald Trump yang mengenakan tarif 10% terhadap barang dagangan Tiongkok senilai 300 miliar USD dari tanggal 1 September mendatang merupakan tetesan air yang menumpahkan gelas dan memojokkan kontradiksi dagang AS-Tiongkok mengalami eskalasi ketegangan. Untuk pertama kalinya setelah 10 tahun, Tiongkok mendevaluasikan mata uang Renminbi sebesar 2% yaitu turun menjadi 7 Renminbi per 1 USD. Nilai uang Renminpi yang merosot telah membuat barang dagangan Tiongkok menjadi lebih murah terhadap dengan para pengimpor asing, membantu badan usaha negara ini berhasil menghindari kerugian dari pengenaan tarif baru yang dilakukan oleh Presiden AS, Donald Trump pada tanggal 1 September mendatang.
Juga pada waktu ini, badan-badan usaha Tiongkok, salah satu di antara para pelanggan terbesar dari pertanian AS memutuskan menghentikan impor hasil pertanian AS.
Segera setelah gerak-gerik Tiongkok ini, pihak AS resmi menamakan Tiongkok sebagai “manipulator moneter” dan akan bersama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mencegah berbagai bentuk persaingan yang tidak sehat dari Beijing. Menurut Kementerian Keuangan AS, tindakan Tiongkok ini telah melanggar komitmen akan tidak mendevaluasikan mata uang, salah satu di antara komitmen-komitmen yang diajukan pada Kelompok G-20.
Langkah Washington ini semakin meningkatkan ketegangan AS-Tiongkok dan merealisasikan peringatan Presiden AS, Donald Trump yang akan memasukkan Tiongkok ke dalam daftar negara-negara yang memanipulasi moneter, gerak-gerik yang telah dihindari oleh generasi-generasi Presiden AS belakangan ini karena ini dianggap sebagai eskalasi yang serius dalam ketegangan bilateral.
Dampak negatif terhadap ekonomi AS-Tiongkok dan seluruh dunia
Ekonomi AS-Tiongkok dan ekonomi seluruh dunia segera terkena dampak setelah ketegangan antara dua perekonomian yang terbesar di dunia ini didorong naik ke klimaksnya. Tanggal 5 Agustus merupakan hari penurunan poin pasar efek AS yang paling buruk pada tahun ini. Saham yang diobral paling banyak di cabang-cabang teknologi, produksi industri dan barang konsumsi yang diprakirakan akan menderita pengaruh dari perang dagang. Devaluasi uang akan juga menimbulkan tekanan terhadap Biro Cadangan Federal (FED), memaksa badan ini harus mempelajari pelaksanaan pemangkasan suku bunga baru.
Devaluasi mata uang juga bisa membuat Tiongkok menderita kerugian. Banyak perusahaan di bidang-bidang seperti properti atau industri berat negara ini telah meminjam modal besar dengan mata uang USD. Mata uang Renminbi yangnilainya lemah akan meningkatkan beban pembayaran utang-utang ini. Semua perusahaan yang bergantung pada barang dagangan yang ditetapkan nilainya dengan mata uang USD seperti minyak tambang jua harus menderita kerugian. Oleh karena itu, ketika satu negara adi kuasa mendevaluasikan mata uangnnya, maka kalangan investor selalu merasa khawatir.
Bersama dengan AS dan Tiongkok, pasar efek di seluruh dunia menderita kerugian yang berarti. Indeks-indeks efek di Asia dan Eropa juga terjun bebas. Persentase 7 Renmimbi per 1 USD dianggap sebagai “garis merah” terhadap semua pasar di dunia, ketika dipatahkan, akan mengaktifkan reaksi-reaksi negatif dari kalangan investor. Ketika Beijing terus mendevaluasikan mata uang Renminbi, negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara yang bersaing dengan bidang yang sama dengan Tiongkok akan menderita tekanan yaitu harus mendevaluasikan mata uangnya. Hal ini bisa mendatangkan inflasi yang lebih tinggi, mengurangi konsumsi keluarga dan membuat moneter mengalami sirkulasi secara tidak normal melalui perbatasan. Pengenaan-pengenaan tarif baru maupun langkah-langkah proteksi yang lain bisa terjadi.
Sementara itu, laporan penilaian tentang dampak perang dagang AS-Tiongkok yang dikeluarkan oleh Organisasi Grant Thornton pada Senin sore (5 Agustus) menyatakan bahwa tanpa memperdulikan bagaimana akibat perang dagang ini, maka pola perdagangan kawasan bisa mengalami perubahan untuk selama-lamanya. Badan-badan usaha perlu mempertimbangkan metode menjamin pertumbuhan dalam keadaan harus menghadapi terputusnya perdagangan secara berjangka-panjang. Hal ini menuntut supaya menghadapi tantangan-tantangan dari terputusnya rantai suplai, reformasi teknologi dan lain-lain.
Dengan situasi sekarang ini, ketegangan dagang AS-Tiongkok akan mengalami perkembangan-perkembangan yang sulit diduga. Pada latar belakang itu, perang dagang ini akan terus menimbulkan pengaruh buruk terhadap kawasan, menyeret instabilitas-instabilitas ekonomi global serta merosotkan kepercayaan di seluruh kawasan Asia-Pasifik.
a