(VOVworld) – Presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump, Senin (23/1), telah menandatangani satu dekrit eksekutif resmi yang menarik negara ini dari Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPP). Dengan dekrit ini, Presiden Donald Trump merealisasikan komitmen yang dia keluarkan dalam kampanye pilpres pada tahun 2016 dan perjanjian perdagangan bebas generasi baru ini sedang menghadapi bahaya keruntuhan.
Ilustrasi
(Foto: wiki)
TPP direkomendasikan dan dibahas dalam waktu 10 tahun ini dan resmi mencapai kesepakatan dari mayoritas anggota pada tahun 2016. Perjanjian TPP dengan partisipasi 12 negara dianggap sebagai permufakatan “pedoman” bagi aktivitas global. TPP hanya akan menjadi efektif ketika mendapat ratifikasi Parlemen sedikit-dikitnya 6 negara anggota yang menduduki sedikit-dikditnya 86% total GDP dari semua pihak peserta perjanjian ini. Khususnya, AS telah menduduki sampai 60% GDP dari 12 negara peserta TPP.
Alasan yang membuat AS tidak hangat dengan TPP
TPP meliputi negara-negara anggota Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Cile, Jepang, Malaysia, Meksiko, New Zealand, Peru, Singapura, AS dan Vietnam. AS dan 11 negara mitra mencapai permufakatan TPP ini pada 10/2015. Permufakatan ini sedang berada dalam periode 2 tahun menunggu ratifikasi dari negara-negara anggota.
Bagi AS, sudah sejak pilpres sedang mengalami tahap yang menegangkan, “nasib” TPP nampaknya telah mendapat jawaban karena dua capres yaitu Donald Trump dari Partai Republik dan Hillary Clinton dari Partai Demokrat semuanya menyatakan tidak mendukung ratifikasi TPP, salah satu warisan besar yang ditinggalkan oleh presiden pendahulu Barack Obama. Alasannya ialah orang AS semakin merasakan hal-hal negatif dari globalisasi, salah satu sebab yang membuat Inggris mengadakan referendum tentang keluar dari Uni Eropa. Sejak krisis keuangan pada tahun 2008, selama 8 tahun ini, ekonomi AS mengalami pemulihan lambat sehingga menimbulkan ketidak-setaraan tentang pendapatan, ketidak-setaraan sosial dan produksi menyempit. Oleh karena itu, banyak orang AS melemparkan kesalahan kepada perekonomian AS pada khususnya dan globalisasi pada umumnya.
Pada latar belakang itu, Donald Trump,sebagai pendukung liberalisasi dan merekomendasikan penyelesaian Permufakatan Perdagangan Bebas Amerika Utara, mengenakan 35-40% tarif terhadap barang dagangan yang diimpor dari Meksiko dan Tiongkok. Akan tetapi, Donald Trump dengan keras menentang TPP dan menganggap ini sebagai satu “permufakatan yang mengerikan”. Oleh karena itu, pekerjaan pertama ketika dia resmi menjadi Presiden AS ialah menyudahi nasib TPP, hal itu tidak di luar dugaan.
Hari depan perjanjian perdagangan bebas generasi baru
Segera setelah Presiden baru AS, Donald Trump menandatangani dekrit eksekutif resmi untuk menarik AS keluar dari TPP, opini umum internasional telah memberikan reaksi yang saling bertentangan. Jepang memberitahukan akan “menggunakan semua kesempatan” untuk meyakinkan Presiden baru Donald Trump tentang arti dipertahankannya sebagai satu pihak peserta TPP. Selandia Baru memberitahukan bahwa negara ini sedang berbahas tentang “rencana B” terhadap TPP dan mungkin akan ada ikutsertanya oleh Tiongkok. Jerman menilai bahwa badan usaha negara ini bisa memanfaatkan keunggulan untuk menguasai kesempatan-kesempatan bisnis di Asia dan Amerika Selatan dengan proteksionisme dari AS setelah AS menarik diri dari TPP. Sedangkan, internal AS telah ada suara-suara tentangan yang kuat. Pada Senin (23/1), Ketua Komisi Militer Senat AS, Senator John McCain telah mengeluarkan pernyataan yang mencela tindakan ini sebagai “satu kesalahan yang serius”.
TPP tidak hanya punya arti ekonomi saja, tapi juga punya arti geo-politik. Permufakatan ini meliputi berbagai prinsip lintas perbatasan yang bersangkutan dengan masalah-masalah kepemilikan intelektual, pemecahan sengketa internasional dan peranan badan usaha milik Negara. TPP berharap mencapai satu kesatuan internasional dan mendominasi berbagai masalah ekonomi yang sedang muncul di seluruh dunia. Ditinjau dari pandangan ekonomi akan tidak ada banyak kerugian terhadap perekonomian dunia kalau TPP dilupakan. Bahkan keruntuhannya mungkin menjadi prasyarat untuk membuka banyak kesempatan bagi solusi-solusi ekonomi yang lebih baik. Akan tetapi, para ekonom menyatakan bahwa hal yang mencemaskan ialah keruntuhan TPP akan menciptakan ruang kosong di Asia, hal yang diusahakan oleh presiden pendahulunya Donald Trump selama 8 tahun ini untuk menciptakan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik. Tiongkok bersedia menjadi pengganti untuk memenuhi ruang kosong itu, menjadi pemimpin kawasan dalam menetapkan berbagai permufakatan perdagangan. Dalam kenyataannya, walaupun tidak ikut serta dalam TPP, tapi Tiongkok sedang mendorong satu Perjanjian Kemitraan Komprehensif Regional (RCEP) antara 10 negara Asia Tenggara dan 6 mitra dagang di sekitar yaitu Australia, Tiongkok, India, Jepang, Republik Korea dan Selandia Baru. Bersama dengan masalah cepat menyelesaikan RCEP, Tiongkok akan jgua melakukan buka pintu terhadap partisipasinya negara-negara Amerika Latin dalam gagasan “satu sabuk, satu jalan” yang digagas oleh negara ini.
Jelaslah bahwa penarikan AS keluar dari TPP bukanlah titik habis terhadap perjanjian perdagangan yang ambisius ini. Sekarang ini, banyak negara anggota TPP sedang mempertimbangkan kemungkinan menggelarkan perjanjian ini tanpa partisipasi AS. Akan tetapi, penarikan AS dari TPP mungkin menimbulkan akibat-akibat negatif dalam jangka-panjang, tidak hanya terhadap perekonomian AS saja, tapi juga bertentangan dengan kecenderungan menentang proteksionisme dagang global.