(VOVWORLD) - Orang asing normal belajar bahasa Vietnam sudah sulit, tapi bagi orang-orang tunanetra, hal itu semakin jauh lebih sulit. Namun, saudara Apichit Mingwongtham, seorang pria dari Bangkok, Thailand telah mengatasi semuanya, gandrung pada belajar bahasa Vietnam.
Dia telah menjadi seorang nomor wahid di Fakultas Vietnamologi, Institut Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Kota Ho Chi Minh tahun 2018. Baru-baru ini, karangan peserta sayembara dengan judul: “Vietnam di mata saya” karya suadara Apichit telah meraih hadiah pertama dalam sayembara “Pena VSL 2019” yang diadakan Klub Duta Budaya, Fakultas Vietnamologi dan Bahasa Vietnam – Institut Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora – Universitas Nasional Vietnam.
Apichit Ming Wongtham – pria tunanetra orang Thailand yang gandrung pada belajar bahasa Vietnam (Foto: VOV) |
Setiap hari, pada pukul 12.15, Apichit Mingwongtham dengan mengenakan celana jean, baju berwarna putih berdiri di depan rumah – tempat seorang pengojek sudah siap membawa dia ke kampus. Rumah berlantai tiga, luasnya 30 meter persegi yang disewa Apichit untuk tinggal dan belajar terletak di satu gang kecil di Kabupaten Binh Thanh, Kota Ho Chi Minh. Bekalnya pergi ke sekolah hanya satu tas hitam dan sebuah tongkat penunjuk jalan.
Kampusnya terletak di Distrik 1, tidak jauh dari rumah Apichit, hanya kira-kira 5-7 menit naik sepeda motor. Meskipun jam belajar dimulai pada pukul 13.00, tapi Apichit selalu berusaha datang ke kelas setepat mungkin untuk melakukan persiapan. Dia duduk di deretan kursi pertama di kelas. Berbeda dengan kurikulum para siswa yang lain, kurikulum Apichit dicetak dalam huruf braille. Recorder dengan brand Sony merupakan alat yang tidak bisa kurang dalam tas Apichit dan ditaruh di meja.
“Meskipun tidak bisa melihat, tapi Apichit tetap datang ke kelas untuk mendengarkan kuliah. Dia mendengar semua kuliah dan minta merekamnya. Setelah mendengarkan kembali, apa yang dia tidak pahami, dia menelepon dosen dan minta dosennya memberikan kuliah ulang. Berangsur-angsur, bahasa Vietnamnya semakin fasih”.
Ibu Dosen Duong Thu Huong, dosen jurusan bahasa Vietnam tingkat lanjut, di Fakultas Vietnamologi, Institut Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Kota Ho Chi Minh sangat terkesan dengan mahasiswa yang istimewa ini. Sebenarnya Apichit sangat menyukai jam-jam kuliah bahasa Vietnam tingkat lanjut seperti ini. Karena setelah setiap jam kuliah, Apichit akan lebih mengetahui struktur-struktur tata bahasa baru dan kosa kata baru. Dengan suaranya enak didengar dan lafal bahasa Vietnam cukup bagus, Apichit Mingwongtham bicara tentang suratan hidupnya dengan bahasa Vietnam. Waktu itu, usianya baru 6-7 tahun.
“Kadang-kadang radio saya bisa menerima gelombang Radio Suara Vietnam. Pada permulaanya, saya merasa aneh, tapi semakin mendengar, saya semakin merasa tertarik dengan intonasi bahasa Vietnam. Saya meniru suara para penyiar Vietnam meskipun waktu itu saya belum mengerti bahasanya. Orang tua saya juga sangat heran kenapa anaknya menyukai bahasa Vietnam seperti itu pada saat saya hanyalah seorang anak Thailand, tidak sedikit pun berkaitan dengan Vietnam”.
Sejak melakukan kontak dengan bahasa Vietnam untuk pertama kalinya, 14 tahun setelah itu Apichit baru berpeluang mengunjungi Vietnam. Pada waktu itu, Apichit hanya bisa bertutur beberapa kalimat dalam bahasa Vietnam yang dia pelajari dari teman-temannya.
Setelah kunjungan di Vietnam pada waktu itu, Apichit berjanji kepada diri sendiri bahwa dia harus kembali ke Vietnam. Pada akhir tahun 2011, setelah menamatkan Fakultas Hukum, Universitas Thammasat, Apichit bertanya kepada diri sendiri bahwa selain bidang hukum dan bermain musik, apa lagi yang dia sukai. Dan jawabannya ialah belajar bahasa Vietnam.
Pada tahun 2013, Apichit memutuskan berhenti bekerja, mengumpulkan uang untuk berangkat ke Vietnam dan ikut serta dalam satu kursus bahasa Vietnam. Untuk menjadi satu mahasiswa unggul seperti hari ini, Apichit telah harus mengatasi banyak kesulitan dalam belajar bahasa Vietnam.
“Karena tidak bisa melihat, jadi saya memerlukan buku yang bertuliskan aksara Braille. Saya membuat fotokopi buku menjadi beberapa bagian, lalu minta teman Vietnam mengetiknya. Mesipun sangat sibuk tapi mereka selalu bersedia membantu saya. Setelah itu, saya mengirimnya ke sekolah “Mai Am Thien An” di Kabupaten Tan Phu dan meminta kepada guru di sana mencetaknya menjadi buku yang beraksara Braille”.
Masalah bahan belajar sudah bisa diatasi, tapi kesulitan lagi yang dihadapi Apichit ialah dia tidak bisa membaca huruf Braille bahasa Vietnam. Dia harus sekali lagi ke sekolah “Mai Am Thien An” untuk minta para guru di sana membimbing cara belajar bahasa Vietnam dari angka nol. Beruntung, bahasa Vietnam menggunakan huruf Latin seperti bahasa Inggris, jadi Apichit bisa belajar bahasa Vietnam dalam waktu singkat. Sebelum ikut serta dalam kontes kemampuan bahasa Vietnam, Apichit harus menghadapi satu kesulitan lagi ialah dia belum pernah berlatih mengetik dalam bahasa Vietnam.
“Sekali lagi saya harus minta bantuan orang Vietnam untuk membimbing saya mengetik bahasa Vietnam. Selain itu mereka juga membantu membaca-nya dan saya sudah mencapai taraf 6/6 (tarap C2) dalam kontes itu”.
Untuk punya uang kehidupan sehari-hari dan mengejar impian, Apichit telah membuka kursus-kursus mengajar bahasa Thai online dan offline untuk para pecinta bahasa Thai. Sampai sekarang, jumlah pelajar telah mencapai 200 orang. Ini juga merupakan peluang bagi Apichit berkenalan dengan banyak teman orang Vietnam, membantu dia meningkatkan kemampuan bahasa Vietnam.
Apichit berharap supaya dua tahun lagi setelah tamat, dia akan membuka satu pusat bahasa asing atau satu website mengajar bahasa Vietnam dan bahasa Thai. Dia ingin menyampaikan kepada para pelajar tentang kecintaan terhadap bahasa Vietnam serta memperkenalkan kepada mereka satu Vietnam yang indah, orang Vietnam yang baik hati dan ramah.