(VOVWORLD) - Selama lebih dari 12 tahun bertugas di medan perang, Bui Minh Son, prajurit pasukan zeni telah memiliki 2/3 waktu di medan perang Dataran Guci Xiangkhoang, Laos Utara, salah satu di antara 3 daerah strategis yang punya nilai terpenting sepanjang masa perang melawan kolonialis Perancis dan imperialis Amerika Serikat untuk membebaskan seluruh Indocina. Di semua hutan dan gunung di sini, ada bekas jejak kaki, keringat, air mata, dan darah dia sendiri dan kawan sekesatuannya. Oleh karena itu, dia senantiasa mempunyai kasih sayang terhadap pemandangan, pegunungan, kebudayaan dan manusia beserta banyak kisah yang sulit dilupakan di bumi yang tangguh ini.
Pada tahun 1968, mengikuti panggilan Tanah Air, pemuda lelaki Kota Hanoi - Bui Minh Son, saat itu baru berusia 17 tahun, telah memanggul ransel untuk bergabung pada tentara. Kurang dari dua bulan kemudian, dia mendapat kehormatan untuk melakukan misi internasional di Laos, bersama dengan Laos melawan musuh bersama, selaku prajurit pasukan zeni untuk mendeteksi ranjau dan membuka jalan, mempersiapkan operasi-operasi di Dataran Guci Xiangkhoang. Hingga kini, semua memori masih utuh. Dia dengan resah menceritakan:
“Selama bertahun-tahun itu, medan perang Phongsali, Xamnua, dan Xiangkhoang merupakan medan ranjau, oleh karena itu tugas pasukan zeni sangat susah payah. Banyak kawan sekesatuan yang sial dari pada saya telah gugur. Hal yang paling ironis dan menyakitkan hati bagi prajurit pasukan zeni yalah hidup dan mati hanya berjarak satu jengkal saja”
Bapak Bui Minh Son saat baru bergabung pada tentara |
Meskipun melakukan pekerjaan yang penuh dengan kesusah-payahan dan berbahaya, tetapi para prajurit pasukan zeni seperti dia tetap merasa bangga ketika bisa memberikan dedikasi kepada negara sahabat dan Ibu Pertiwi. Tidak hanya pandai menggali tanah untuk membuka jalan saja, dia juga adalah seorang berbakat dan asyik menulis, membuat puisi, dan suka mencari tahu tentang kebudayaan negeri jutaan gajah tersebut. Dia selalu memanfaatkan setiap menit untuk mengamati bagaimana teman-teman Laos bekerja, berkomunikasi, dan hidup, untuk lebih memahami kebudayaan dan manusia di daerah setempat.
“Selain kesamaan dalam kebudayaan dua bangsa, saya sangat terkesan tentang cara berperilaku dari warga Laos. Saya melihat bahwa warga Laos mengarah ke kebaikan, moderat, lugas, dan lemah lembut. Mereka meninggalkan kesan yang teramat baik. Ketika berkunjung kembali di Laos, saya tidak mempunyai perasaan seperti ke luar negeri”.
Bapak Bui Minh Son mengunjungi kembali Dataran Guci Xiangkhoang, Laos |
Sebagai seorang yang pandai berbicara beserta memiliki keunggulan berbahasa Laos, tidak lama setelah itu, dia ditugasi melakukan propaganda dan membuat narasi film – satu pekerjaan yang tidak kalah beratnya. Setiap hari, dia membawa generator listrik seberat hampir 40 Kg dan bersama dengan kawan sekesatuannya mengangkut proyektor film seberat 300 Kg di topografi pegunungan yang curam untuk menampilkan film hiburan untuk menyemangati tentara Vietnam dan Laos dari unit ke unit, serta melayani warga daerah setempat.
Selain citra Xiangkhoang yang diselimuti dalam asap, api yang disebabkan bom dan ranjau, pemandangan pegunungan dan hutan di sini begitu indah bagi dia. Setiap kali kembali di sini, perasaan dia sendiri bagi warga daerah semuanya sangat mengharukan.
“Pertama kali saya berkunjung kembali di Laos, hanya melintasi perbatasan saja, jantung saya sudah berdebar-debar. Xiangkhoang seperti kampung halaman ke-2 bagi saya. Banyak kawan sekesatuan telah harus berbaring di sana. Setiba di sana, warga daerah menyambut saya dengan cermat. Mereka berbaris dalam antrean panjang dari luar dan masing-masing memeluk saya. Beberapa orang bahkan menangis”.
Bapak Bui Minh Son berfoto di Patuxay, Laos |
Memasuki usia 70 tahun, ketika rambutnya sudah ubanan dan kulitnya sudah berbintik-bintik karena penuaan, tetapi prajurit muda pada waktu itu tetap ingin mengunjungi bumi yang tangguh ini setiap tahun. Selama dia sehat, dia akan kembali ke sini untuk mengunjungi para kawan sekesatuan, mengunjungi warga Laos, tanah air Laos, dan Dataran Guci. Bagi dia, Xiangkhoang untuk selama-lamanya menjadi kampung halaman ke-dua.